Feminisme dan Isu Kesetaraan Gender
( Sebuah kajian awal )
Oleh : Hasbi Arijal/ AF5
Pendahuluan
Belum lama ini kita disodori
beberapa kabar tentang RUUKG, yaitu rancangan undang-undang kesetaraan gender.
Yang mana terdapat sebagian materi dan isi draft tersebut yang perlu dikaji
ulang, sebagaimana dikatakan oleh Adnin Armas dalam situs This is Gender mei, 28,
2012, bahwa ada dari materi dan isi
draft undang-undang kesetaraan gender
mengenai hak perempuan dalam menentukan pasangan hidupnya, juga definisi “gender” itu sendiri. Adnin menambahkan, bahwa hal ini bisa bermasalah karena bertentangan dengan ajaran Islam juga UUD Perkawinan No.1 Tahun 1974, karena disitu disebutkan bahwa perempuan muslim dilarang menikah dengan lelaki nonmuslim.
mengenai hak perempuan dalam menentukan pasangan hidupnya, juga definisi “gender” itu sendiri. Adnin menambahkan, bahwa hal ini bisa bermasalah karena bertentangan dengan ajaran Islam juga UUD Perkawinan No.1 Tahun 1974, karena disitu disebutkan bahwa perempuan muslim dilarang menikah dengan lelaki nonmuslim.
Semaraknya isu kesetaran gender
tidak datang dengan sendirinya, melainkan ada sebagian golongan yang dengan
gencar mengobral ide-ide tersebut pada khlayak banyak, kelompok dan golongan
inilah yang sering disebut sebagai kaum Feminis, parang pengusung wacana,
faham, bahkan ideologi Feminisme.
Disini pemakalah mencoba membahas
dan menelusuri, sejarah, definisi baik secara etimologi maupun terminologi
feminisme, dan isu yang dibawanya.
Sejarah dan
Definisi
Mengutip
Hamid Fahmy dalam pengantarnya pada buku Bangunan Wacana Gender, bahwa
sebuah faham maupun teori sosial biasanya tak lepas dari tradisi, kepercayaan,
agama, maupun budaya yang melatarbelakanginya[1].
Maka apabila kita melacak awal mula gerakan Feminisme dalam Islam takan pernah
kita dapatkan, sebab Islam sebagai agama wahyu, semenjak awal turunnya tak
terdapat sedikitpun hal-hal yang berbau misogini terhadap perempuan.[2]
Gerakan dan faham ini bermula dari
respon kaum wanita di Barat, terhadap
posisi wanita yang dipandang menyedihkan dan sebelah mata.[3]Ini
tidak hanya terjadi dalam ranah keluarga, bahkan telah mengejewantah pada ruang
lingkup sosial, hukum, politik, dan kebudayaan.[4] Maka
tak heran bila terjadi reaksi amat keras terhadap perlakuan tersebut.
Bila kita menelusuri ternyata
misogini terhadap kaum wanita di Barat tidak hanya terjadi di era modern, tapi
jauh sebelum itu, semisal Tokoh Plato dan Aristoteles pada era pra-Kristen, St.
Agustinus dan St. Thomas Aquinas pada abad pertengahan, disusul John Lock
sampai Nietzche di awal abad modern, pencitraan dan posisi wanita tak pernah
dianggap setara dengan laki-laki, bahkan mereka tak jauh beda sama dengan para
budak, memilki akal dan fisik yang lemah, tak sempurna layaknya seorang
anak-anak.[5]
Jelaslah penyebab timbulnya gerakan
ini datang dan tumbuh dalam tubuh Barat, yang sejak awalnya memandang sebelah
mata terhadap kaum wanita.
Definisi
Istilah femina, feminisme, dan
feminis, berasal dari bahasa Latin. Yaitu Fei dan minus, Fei yang
artinya iman, dan minus artinya kurang, jadi Feminus adalah kurang iman[6].
Sebagaimana dipaparkan diatas mengenai posisi dan kedudukan wanita di Barat
yang memang dianggap sebagai makhluk kurang iman, penggoda lelaki, dan berbagai
macam stereotype lainnya.
Tetapi untuk mendefinisikan tentang
apa itu arti feminisme ternyata tidaklah mudah, seperti diutarakan oleh Kamla
Bhasin dan Night Said Khan, seorang Feminis Asia Tenggara, karena tidak semua
Feminis bisa menerima definisi tersebut, hal ini dapat berubah-ubah,
berdasarkan pada sosio-kultural dan tingkat pemahaman dimana paham ini lahir.
Walaupun seperti itu ia menambahkan pentingnya untuk mendefinisikan feminisme
tersebut, agar adanya kejelasan secara luas[7].
Menurut Yunhar Ilyas dalam bukunya Feminisme
Dalam Kajian Tafsir Al-qur’an Klasik dan Kontemporer, mendefinisakan
feminisme sebagai :” Kesadaran akan ketidak adilan gender yang menimpa kaum
perempuan baik dalam keluarga, maupun masyarakat, serta tindakan sadar oleh
perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut.
Definisi lain juga menyebutkan bahwa
feminisme adalah sebuah kepercayaan bahwa perempuan hanyalah perempuan, yang
semata-mata diperlakukan tidak adil dalam masyarakat yang dibentuk untuk
memprioritaskan cara padandang laki-laki serta kepentingannya, ataupun sebagai
semua usaha untuk menghadapi manifestasi sistem[8] patriarkal.[9]
Dari sekian definisi diatas bisa
disimpulkan bahwa feminisme adalah usaha ataupun kesadaran akan ketidak adilan
terhadap kaum wanita dalam segala tatanan kehidupan, yang dilakukan baik oleh
wanita sendiri maupun laki-laki, jelaslah bahwa ternyata seorang feminis tak
hanya identik pada seorang wanita, melainkan seoarng laki-laki pun bisa
dikatakan feminis ketika melakukan usaha dan kesadaran tersebut.
Para feminis di Barat umumnya
menyebut nama Mary Wollstoncraft (1759-1797) sebagai nenek moyang mereka[10]lewat
tulisannya yang berjudul vindication rights of women bahkan dikatakan melalui
karya inilah gerakan feminis modern di Barat dimulai[11]
Bisa difahami bahwa munculnya
feminisme di Barat tak lepas dari worldview kalangan Barat terhadap segala
realitas. Seperti dikatakan baik oleh al-Attas, Ninian Smart, Alparslan, dan
lainnya bahwa worldview merupakan sumber dari segala aktivitas intelektual dan
sosial[12]. Disinalah bisa terjadi beberapa golongan yang
terdapat dalam golongan feminisme sesuai worldview yang meletarbelakanginya
ketika itu. Barat liberal mengahasilkan feminisme liberal, mereka
mengatakan bahwa setiap makhluk terlahir dengan hak-hak yang sama tanpa adanya
perbedaan sedikitpun, sedangkan mereka memandang bahwa saat ini hal itu belum
terwujudkan, berbeda ketika Barat marxis timbullah feminisme marxisian,
dengan mengutarakan bahwa sebenarnya timbulnya ketidak adilan yang terjadi
adalah dampak dari sturktur sistem
sosial,politik, ekonomi yang bersifat kapitalistik, adanya kelas borjuis dan
proletar, mengharuskan perempuan tertindas dan selalu dinomorduakan, karena
anggapan mereka bahwa perempuan adalah kaum proletar, setelah kapitalisme
muncul maka Barat menjadi sosialis sebagai respon terhadap kapitalisme
tersebut, sudah bisa diduga bahwa feminisme sosialis adalah reaksi
terhadap kapitalisme, dengan mengatakan bahwa ternyata ketika perempuan
mempunyai peran dalam tatanan sosial, politik, dan ekonomi, disinalh sebenarnya
akan terjadi penindasan tersebut jadi anggapan mereka untuk menghilangkan ini,
sebagai upayanya adalah dengan menghancurkan sistem patriarkhi yang ada, dari
sekian golongan diatas, ada yang lebih bersikap ekstrim lagi, feminisme
radikal. Mereka sudah tidak melihat pada sisi sosial, politik, ekonomi
lagi, tetapi sudah pada orientasi seks antara lelaki dan perempuan, harusnya
dihapuskan perasaan antara mereka dengan para lelaki, karena ini penyebab awal
ketika ada hubungan antara keduanya maka ketertindasan oleh sistem patriarkhi
tak akan pernah hilang. Maka timbulah kawin sesama jenis, suburnya lesbianisme
dan sebagainya.
Isu Kesetaraan
Gender dan Penafsiran Ulang
Salah satu dari agenda para feminis
adalah harus adanya kesetaraan gender dalam segala bidang kehidupan, karena
dalam setiap kajiaanya selalu berawal dari asumsi ketidak adlian gender antara
laki-laki dan perempuan.[13]
Permasalahan awal dalam pengkajian
gender, pembedaan secara ketat makna, antara sex dan gender itu sendiri, bila
diartikan dan merujuk pada kamus bahasa inggris maka kedua istilah ini
mempunyai arti yang sama yaitu “jenis kelamin”, akan tetapi memiliki konotasi
yang berbeda, pertama sex diartikan sebagai sesuatu yang given natural,
sifat-sifat secara biologis yang memang sudah ada dari sananya. Sedangkan
gender berkonotasi sifat-sifat dan kebiasaan yang bisa dibangun melalui hasil
sosial-budaya, dan dapat berubah juga dipertukarkan berbeda dengan sex yang
sudah tetap segala sifat dan cirinya.[14]
Isu gender yang pada mulanya berasal
dari worldview Barat ternyata juga sudah merambah dalam ruang lingkup kajian
agama, Islam khususnya, dimana para pengusung ini menelan mentah-mentah tanpa
adanya filterisasi terhadap isu tersebut, maka tak heran jika mereka menganggap
harus adanya kajian ulang terhadap penafsiran al-qur’an[15], yang
menurut mereka masih terdapat didalamnya ayat-ayat yang menindas kaum
perempuan. Kenapa harus al-qur’an, karena al-qur’an merupakan sumber awal dari
Islam.
Timbullah beberapa pertanyaan dan
tingkah laku keagamaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, contoh tentang
mengapa dalam hak waris wanita hanya mendapat satu bagian dari laki-laki yang
dapat dua bagian, kenapa nabi hanya datang dari kaum lelaki, tidak perempuan,
bahkan beberapa tahun lalu umat Islam digemparka oleh kegiatan yang dilakukan
oleh Amina Wadud seorang feminis muslim yang menjadikan dirinya khotib
sekaligus imam sholat jum’at pada salah satu mesjid di Amerika yang mana para
jamaahnya adalah laki-laki dan wanita.
Lebih jauh lagi tentang pandangan
terhadap al-qur’an yang masih belum adil terhadap perempuan, salah seorang
cendikiawan muslim liberal mengatakan bahwa al-quran adalah sebagai muntaj
tsaqofi (produk budaya), jadi harus adanya penafsiran ulang terhadap
al-qur’an yang sesuai pada budaya zaman sekarang, contoh yang menggelikan
adalah masalah jilbab, dimana dikatakan bahwa kewajiban muslimah memakai jilbab
adalah karena pada masa turunnya ayat tersebut situasi Arab pada waktu itu
sangat panas, bebeda dengan situasi Eropa sekarang. Secara tidak
langsung ini akan menimbulkan metode penafsiran baru yang disebut hermeneutika,
dan ternyata ini sejalan dengan yang dilakukan oleh para feminis Barat terhadap
theologi mereka[16].
Akan tetapi apakah semua ide ini
benar adanya, atau hanya mengekor Barat tanpa adanya protect terlebih dahulu,
apa jadinya bila semua yang telah dibahas diatas dimasukan dan diamalkan dalam
agama Islam secara keseluruhan, sudah bisa ditebak, akan timbul dekontruksi
syari’ah, desakralisasi al-qur’an, dan lain sebagainya.
Penutup
Sebagai akademisi muslim yang menjadikan al-qur’an sebagai
landasan, maka kita tak hanya bisa tinggal diam melihat fenomena semacam ini,
feminisme yang dulunya berawal wacana dan sudah lahir sebagai sebuah
pergerakan, parahnya sebagian umat Islam mengamini faham dan gagasa yang
dibawanya. Harus adanya gerakan pula dengan istilah de feminisme untuk
membendung itu semua.
Waallahu a’lam bish shawab
[1] . lihat pengantar dalam, Mohammad Muslih, Bangunan Wacana Gender(Ponorogo,
CIOS, 2007)
[2] Ibid hal.vii
[3] . Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta, Gema
Insani Press), 103
[4] Ibid, hal104
[5] . Ibid hal.104
[6]. Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat, Refleksi Tentang Islam, Westrenisasi
dan Liberalisasi, (Jakarta, INSISTS, 2012), hal265
[7]. Untuk lebih jelas baca makalah penulis dalam, Feminisme Dalam
Pandangan Islam dan Dampaknya Pada Kehidupan Sosial, hasil tugas mata kuliah
Bahasa Inggris, hal2
[8] Sarah Gamble, Pengantar Memahami Feminisme dan Post-Feminisme, (London
and New York, Routledge, 2004), diterj oleh tim penerjemah Jalasutra, hal3
[9] Patriarkal adalah sebuah sistem sosial,
politik, ekonomi, dan agama dimana laki-laki memegang otoritas utama.
[10] Lihat Syamsuddin Arif,
Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta, Gema Insani Press),hal 106
[11] Lihat Sarah Gamble, Pengantar
Memahami Feminisme dan Post-Feminisme, (London and New York, Routledge, 2004),
hal21
[12] Lihat Hamid Fahmy Zarkasyi,
Misykat, Refleksi Tentang Islam, Westrenisasi dan Liberalisasi, (Jakarta,
INSISTS, 2012), hal265
[13] Mohammad muslih, Bangunan Wacana Gender, (Ponorogo, CIOS, 2007), hal3
[14] Ibid, hal2
[15] Ibid, hal18
[16] Margaret
D Kamitsuka, Feminist Theologhy and The Challenge Of Difference, (Oxford,
Oxford University Press), hal63
0 Komentar untuk "Feminisme dan Isu Kesetaraan Gender"