KRITIK ATAS METODOLOGI HERMENEUTIKA AL-QUR’AN “MAZHAB YOGYA” DALAM STUDI AL-QUR’AN



Oleh: Asep Setiawan*

I.     Pendahuluan
Dewasa ini, ada kecenderungan di kalangan para pemikir muslim kontemporer untuk menjadikan hermeneutika sebagai mitra[1], pendekatan[2] atau bahkan sebagai pengganti ilmu tafsir Al-Qur’an.[3] Kecenderungan ini, dilatarbelakangi oleh beberapa alasan, seperti, Al-Qur’an dikatakan merupakan refleksi dari dan respon atas kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat Arab Jahiliyah abad ke-7 Masehi[4] yang primitif dan patriarkis.[5] Ulumul Qur’an, dianggap tidak punya variabel kontekstualisasi.[6] Metodologi tafsir ulama klasik, diasumsikan terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik, terlalu memberhalakan teks dan mengabaikan realitas.[7] Tafsir klasik, dinilai tidak memiliki teori solid yang mempunyai prinsip-prinsip yang teruji dan terseleksi.[8] Paradigma tafsir klasik, dianggap memaksakan prinsip-prinsip universal Al-Qur’an  dalam konteks apapun ke dalam teks Al-Qur’an, akibatnya, pemahaman yang muncul cenderung tekstualis dan literalis.[9] Tafsir-tafsir klasik, dinilai tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat Islam dan telah turut melanggengkan status quo dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya.[10] Dengan demikian, menurut mereka, dekonstruksi sekaligus rekonstruksi metodologi penafsiran Al-Qur’an perlu dilakukan. Dan menurutnya, hermeneutika, merupakan sebuah keniscayaan dan satu-satunya pilihan (the only alternative),[11] sebagai solusi untuk menjembatani ‘kebuntuan’ dan ‘krisis’ Ulumul Qur’an dan tafsir klasik yang sudah tidak relevan lagi dengan konteks dan semangat zaman sekarang ini.[12]
Gagasan perlunya penerapan metode hermeneutika dalam studi Al-Qur’an ini, begitu marak. Seruan itu serempak disuarakan oleh para sarjana muslim kontemporer, baik di negara-negara Timur Tengah  maupun belahan dunia Islam lainnya, termasuk juga di Indonesia. Sebagai contoh para tokoh Arab kontemporer yang getol menyuarakan gagasan ini antara lain; Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zayd, Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Riffat Hasan, Amina Wadud dan para tokoh lain dengan konsep-konsep barunya yang cenderung berbeda dengan konsep para ulama terdahulu. Adapun dalam konteks di Indonesia sendiri, metode hermeneutika ini telah ditetapkan sebagai mata kuliah wajib di jurusan Tafsir Hadis di beberapa Perguruan Tinggi Islam seperti Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Perguruan Tinggi lainya. Bahkan bisa dikatakan, hermenutika ini telah menjadi mazhab kampus mereka, karena kuatnya pengaruh petinggi kampus yang mempromosikan paham ini.[13] Para mahasiswa diarahkan untuk menulis skripsi, tesis atau desertasi dengan menggunakan metode hermeneutika.[14] Sebagai contoh, sebut saja di UIN Yogyakarta yang telah menerbitkan sebuah buku yang berjudul Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya (terbitan Islamika, Yogyakarta, 2003). Secara sepintas, dari judul tersebut dapat diketahui bahwa metode hermeneutika telah menjadi mazhab dalam studi Al-Qur’an di kampus tersebut.
Terkait dengan hal di atas, maka tulisan yang ringkas dan sederhana ini, mencoba untuk mengeksplorasi sekaligus memberikan beberapa catatan atas metode hermeneutika yang berkembang di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan merujuk ke buku Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya.[15] Adapun permasalahan yang dibahas dalam makalah ini antara lain; pertama, tentang apa yang dimaksud dengan “Mazhab Yogya” dalam bidang hermeneutika dan apa dasar pemikiran atau asumsi filosofis yang melatarbelakanginya. Kedua, bagaimanakah metodologi hermeneutika Al-Qur’an “Mazhab Yogya” tersebut. Dan yang terakhir adalah apa implikasi yang ditimbulkan dari metode hermeneutika Al-Qur’an “Mazhab Yogya” tersebut jika diterapkan dalam penafsiran Al-Qur’an.

II.  Pembahasan
A.  Maksud dari “Mazhab Yogya” Dalam Bidang Hermeneutika
1.    Definisi “Mazhab Yogya”
Secara etimologis, kata maz\hab berasal dari bahasa Arab berupa isim maka>n dari akar kata z\ahaba, yang artinya adalah tempat pergi atau jalan. Kata-kata yang semakna ialah: maslak, t}ari>qah dan sabi>l, yang kesemuanya berarti jalan atau cara.[16] Kata maz\hab, merupakan bentuk tunggal dari kata maz}a>hib yang artinya kepercayaan, doktrin, ajaran, mazhab, pendapat atau teori.[17] Menurut Hans Wehr, maz}hab berarti; manner followed, adobted procedur or policy, road entered upon, opinion, belief, teaching,dan doctrine school.[18]Sedangkan secara terminologi, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahi>d berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariah yang rinci serta berbagai kaidah dan landasan yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Ia merupakan manifestasi hukum-hukum syariah (fikih) dan juga mencakup ushul fikih yang menjadi metode penggalian (t}ari>qah al-istinba>t}) untuk melahirkan hukum-hukum tersebut.[19] Secara sederhana, mazhab bisa diartikan dengan aliran pemikiran atau hasil-hasil pemikiran tokoh yang kemudian dikumpulkan dan dinisbatkan kepada tokohnya, atau kecenderungannya, atau masa periodesasinya.
Adapun maksud dari istilah “Mazhab Yogya” sendiri, dalam buku Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya tidak dijelaskan secara eksplisit. Namun, menurut salah satu penulis buku ini, buku tersebut ditulis dengan dilatarbelakangi dari hasil wawancara dengan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Menurutnya, di saat pemikiran para tokoh Arab kontemporer dengan teori hermeneutikanya seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur, Muhammad Arkoun, Fazlur Rahman dan lainnya sudah dipelajari oleh para mahasiswa Tafsir Hadis UIN Yogyakarta, ternyata di Perguruan Tinggi lainnya, khususnya di UIN Jakarta, pemikiran para tokoh di atas masih belum banyak dikenal. Hal ini mendorong para dosen di UIN Yogyakarta untuk memperkenalkan pemikiran hermeneutika para tokoh tersebut lewat sebuah buku. Karena buku tersebut banyak membicarakan tentang hermeneutika dan kebetulan para penulisnya berasal dari Yogyakarta, maka buku tersebut diberi judul Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya.[20] Adapun menurut Sahiron Syamsuddin,[21] sesuatu bisa dikatakan aliran atau mazhab ketika pemikiran seseorang mendapatkan perhatian dan resepsi dari pihak lain.[22]
Meskipun mereka tidak memberikan definisi yang jelas tentang maksud dari istilah “Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya”, namun dari keterangan mereka di atas dan dengan melihat tema-tema pembahasan buku tersebut,[23] maka barangkali dapat disimpulkan bahwa maksud dari istilah itu adalah aliran pemikiran atau hasil pemikiran para cendekiawan muslim Yogyakarta tentang hermeneutika dalam studi Al-Qur’an.

2.    Dasar Pemikiran yang Melatarbelakanginya
Secara garis besar, ada tiga hal yang menjadi kegelisahan akademik yang melatarbelakangi para penggagas hermeneutika Al-Qur’an mazhab Yogya untuk menjadikan hermeneutika menjadi salah satu pendekatan dan mitra dalam studi Al-Qur’an. Dengan tujuan untuk mengembangkan Studi Islam (khususnya Studi Qur’an) dan untuk menjawab tantangan zaman dan peradaban manusia yang sedang dan terus berubah. Pertama, perlunya memadukan tradisi berfikir keilmuan Islamic studies  dan religious studies. Kedua, pergeseran paradigma (shifting paradigm) menurut mereka adalah suatu keniscayaan. Ketiga, prinsip universal Al-Qur’an adalah s{a>lih li kulli zama>n wa maka>n (relevan dalam setiap waktu dan tempat), sehingga menurut mereka reinterpretasi adalah sebuah keharusan. Lebih jelasnya, di bawah ini akan dipaparkan tentang ketiga hal tersebut.
a.    Memadukan Tradisi Berfikir Keilmuan Islamic Studies dan Religious Studies
Salah satu hal yang dipersoalkan oleh para penggagas hermeneutika Al-Qur’an “Mazhab Yogya” adalah perlunya memadukan tradisi ilmu dalam Islamic studies (studi Islam) dan religious studies (studi agama) kontemporer. Dalam kata pengantar di buku Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya, Amin Abdullah menyatakan bahwa problem yang bersifat metodologis atau epistemologis dari ulumul Qur’an adalah ketertutupannya terhadap kontribusi metodologis ilmu-ilmu modern (terutama ilmu sosial (social sciences), humaniora dan filsafat ilmu) dalam diskursus penafsiran Al-Qur’an.[24] Selama ini, ilmu-ilmu tersebut hanya dipandang sebagai ilmu bantu (bukan suatu hal yang signifikan dan menentukan).[25] Padahal, menurut Kaelan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, membawa pengaruh yang cukup besar terhadap upaya mengkaji Al-Qur’an.[26] Terlebih lagi, kontribusi metodologis ilmu linguistik modern, semiotik dan hermeneutik sangat berperan dalam pengembangan diskursus studi Al-Qur’an.[27]Oleh karena itu, menurut Amin Abdullah, menginterkoneksikan Islamic studies dengan religious studies kontemporer yang telah memanfaatkan kerangka teori dan metodologi yang digunakan oleh ilmu-ilmu sosial dan humaniora sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur, Muhammad Arkoun, Abid al-Jabiri, dan Fazlur Rahman adalah sebuah keniscayaan.
Terkait dengan hal di atas, Sahiron Syamsuddin berasumsi bahwa hermeneutika dapat diaplikasikan ke dalam ilmu tafsir dan bahkan dapat memperkuat metode penafsiran Al-Qur’an. Ia berargumen bahwa, pertama, secara terminologi, hermeneutika (dalam arti ilmu tentang “seni menafsirkan”) dan ilmu tafsir, pada dasarnya tidak berbeda. Keduanya mengajarkan bagaimana memahami dan menafsirkan teks secara benar dan cermat. Kedua, yang membedakan antara keduanya adalah sejarah kemunculannya, ruang lingkup dan objek pembahasannya. Menurutnya, hermeneutika mencakup seluruh obyek penelitian dalam ilmu sosial dan humaniora (termasuk di dalamnya bahasa dan teks), sementara ilmu tafsir hanya berkaitan dengan teks. Dengan demikian, menurutnya, teks sebagai objek inilah yang mempersatukan antara hermeneutika dan ilmu tafsir. Dan yang terakhir, meski objek utama ilmu tafsir adalah Al-Qur’an dan objek utama hermeneutika adalah Bibel, akan tetapi keduanya (Al-Qur’an dan Bibel) sama-sama mengkomunikasikan pesan ilahi kepada manusia dengan bahasa manusia, sehingga dapat diteliti baik melalui hermeneutika maupun ilmu tafsir.[28]
Upaya ‘menginterkoneksikan’ atau ‘mensintesakan’ ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu dari tradisi selain Islam dalam rangka mengembangkan disiplin-disiplin ilmu dalam kajian Islam dan untuk menghilangkan dikotomi antar keduanya, adalah hal yang perlu diapresiasi. Namun, yang perlu dipikirkan adalah apa, mengapa dan bagaimana dua disiplin ilmu tersebut dihubungkan, diselaraskan dan diintegrasikan. Jika yang dimaksud upaya tersebut adalah mendialogkan ilmu-ilmu keislaman dalam arti ‘mengadat’ dan ‘megadopt’ perkembangan baru ilmu-ilmu sosial-humaniora Barat yang kemudian mengawinkan keduanya, dan mengembangkannya[29] tanpa ada konsep yang jelas, maka perlu dipertanyakan realisasi dan implikasinya. Upaya tersebut bisa berdampak pada kerancuan (confusion) konsep ilmu keislaman itu sendiri.
Dalam tradisi Islam, ‘menginterkoneksikan’ atau ‘mensintesakan’ ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu dari tradisi selain Islam, -atau lebih tepatnya adalah proses Islamisasi-[30], sebenarnya telah dilaksanakan pada abad kejayaan Islam. Di mana pada saat itu, cendekiawan Muslim tengah berhadapan dengan ilmu-ilmu asing seperti Yunani, Persia dan India, Mesir dlsb.[31] Proses tersebut adalah lumrah dan wajar.[32] Namun perlu digarisbawahi bahwa proses tersebut, seperti yang digambarkan oleh Seyyed Hossein Nasr adalah ibarat proses pencernaan. Ketika tubuh menelan dan mencerna seluruh makanan, maka bisa berakibat fatal bagi kesehatan, yang perlu dicerna oleh tubuh adalah gizi-gizinya saja dan tidak semuanya.[33] Begitupula dengan proses Islamisasi ini, yang diambil hanyalah yang seirama dengan ajaran Islam yang nantinya juga akan diintegrasikan dengan konsep-konsep dasar dalam pandangan hidup Islam.[34] Religious studies kontemporer yang telah memanfaatkan kerangka teori dan metodologi yang digunakan oleh ilmu-ilmu sosial dan humaniora Barat adalah ilmu asing yang -lebih tepatnya- perlu “diadapsi” bukan “diadopsi” itupun sebatas konsep-konsepnya  yang dinilai layak untuk diadapsi.[35]
   Ilmu dan prinsip-prinsip epistemologi dalam Islam, lahir dari pandangan hidup Islam yang diawali dari tradisi intelektual Islam, bukan konsep-konsep atau tradisi dari luar Islam.[36] Dalam hubungannya dengan hermeneutika, dari aspek perkembangan historisnya, ia berasal dari tradisi Kristen, Barat, dan juga tradisi Filsafat, sehingga tidak mustahil mengusung ideologi dan nilai-nilai yang tidak pasti sesuai dengan Islam. Kemunculan hermeneutika berawal dari trauma umat Kristen saat itu terhadap otoritas gereja dan problematika teks Bibel.[37] Di sisi lain, pada mulanya kajian hermeneutika berkutat pada wilayah teologis yang kemudian bergeser memasuki diskursus filsafat. Ketika ia masuk ke dalam kajian filsafat, maka tradisi intelektual Barat dengan segenap nilai pandangan hidupnya yang sekular dan anti agama, ikut memberikan makna baru terhadap hermeneutika. Pada saat itu, ia sudah bukan lagi metode interpretasi kitab suci. Jika metode tersebut diaplikasikan untuk kajian Al-Qur’an, maka ia akan merusak sendi-sendi agama, karena agama disubordinasikan di bawah filsafat. Sebagai sebuah metode filsafat, hermeneutika sarat dengan presupposisi epistemologis yang bersumber pada konsep realitas dan kebenaran dalam perspektif Barat yang tidak mempertimbangkan aspek-aspek realitas yang bersifat metafisis, kosmologis dan ontologis.[38]
   Di samping itu, metodologi humaniora Barat jika diterapkan untuk mengkaji Islam, maka akan menimbulkan dambak buruk. Di antaranya, akan terjadi sinkretisme dan eklektisme metodologi. Di sisi lain, sebagian besar metodologi Barat, lebih menyukai cara generalisasi dan kajiannya tidak pernah mengenal tahapan final[39] sehingga hasilnya adalah kerancuan (confusion).[40]Hal ini disebabkan karena epistemologi Barat berangkat dari praduga-praduga, prasangka-prasangka, atau usaha-usaha skeptis, spekulatif dan relatif[41] tanpa didasarkan wahyu. Karena itu, epistemologi Barat menghasilakan sains-sains yang hampa akan nilai-nilai spiritual dan akhirnya, seperti yang disimpulkan S.M. Naquib al-Attas, epistemologi Barat tidak dapat mencapai kebenaran.[42]
   Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya menginterkoneksikan atau mensintesakan tradisi berfikir keilmuan Islamic studies  dan religious studies Barat kontemporer yang telah memanfaatkan kerangka teori dan metodologi yang digunakan oleh ilmu-ilmu sosial dan humaniora, termasuk di dalamnya hermeneutika dalam studi Al-Qur’an cenderung membawa dampak yang negatif dan kerancuan (confusion). Terlebih jika metodologi hermeneutika tersebut sekedar “diadopsi” atau -meminjam bahasanya Yudian Wahyudi- hanya “comotisme” disebabkan karena “mabok metodologi”.[43] Padahal sebenarnya umat Islam telah memiliki metodologi sendiri dalam menginterpretasikan Al-Qur’an yaitu ulumul Qur’an atau ilmu tafsir yang tetap relevan[44] digunakan dalam studi Islam.
b.   Pergeseran Paradigma (Shifting Paradigm)
   Setelah menyatakan perlunya memadukan Islamic studies dengan religious studies kontemporer, menurut mereka, perubahan paradigma pun mesti dilakukan. Amin Abdullah menegaskan bahwa, konsekuensi dari pertemuan kedua tradisi keilmuan tersebut di atas, menuntut perubahan kerangka teori, metode dan epistemologi yang digunakan. Shifting paradigm -meminjam istilah Thomas Kuhn- , menurutnya, seharusnya menjadi basis kesadaran para sarjana Muslim, bahkan jika perlu dijadikan sebagai bagian dari tradisi studi Islam kontemporer.[45] Menurut Hamim Ilyas, kemunculan tafsir modern itu, sudah menjadi keniscayaan sejarah. Tafsir yang berkembang sebelumnya, sebagai normal science, telah mengalami krisis sehingga tidak bisa dijadikan rujukan bagi umat Islam untuk menjawab tantangan zaman yang baru.[46] Tegas Amin, nalar zaman, sistem pengetahuan, dan aspek kehidupan manusia abad ke-21, baik sosial, budaya, politik dan juga agama, telah jauh berkembang, dan tentunya berbeda dari nalar zaman pada abad pertengahan. Dengan bercermin pada konsep episteme Foucoult, menurut Amin, latar historis, menuntut pola pikir tertentu yang harus selalu diusahakan sesuai dengan karakter dan kepentingan manusia, kapan dan di manapun ia hidup. Dengan demikian, menurutnya, aktivitas keilmuan apa pun, termasuk Islamic studies dan religious studies, harus diposisikan sebagai proses tiada henti dalam meniti perjalanan inovasi, eksperimentasi, dan alternasi berbagai konsep baru guna memperkokoh dan sekaligus memperkaya bangunan keilmuan yang sudah ada.[47]
   Amin Abdullah, dengan mengutip pendapat Mukti Ali mengatakan bahwa keterlibatan wahyu dalam penyusunan konsepsi rancang bangun epistemologi ilmu-ilmu agama Islam, baik itu Kalam, Tafsir, Hadis, Fiqih maupun Akhlaq, menurutnya menghambat proses pengembangan dan pertumbuhan keilmuan Islam itu sendiri. Jika dalam ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman, adanya anomali-anomali itu dianggap wajar, biasa, maka menurutnya, hal itu lain halnya dengan ilmu-ilmu agama Islam. Anomali-anomali yang melekat dalam rancang bangun ilmu-ilmu agama baik itu Islam, Kristen, Katolik, Budha maupun Hindu, menurut Amin menjadi dianggap tidak begitu penting lantaran keterlibatan wahyu yang bersifat final itu lebih mendominasi. Dengan ungkapan lain, sifat truth claim, yakni tuntutan akan kebenaran final yang lebih dilekatkan pada tubuh ilmu-ilmu agama, ternyata menurut Amin, lebih memberi andil yang mendasar dalam menghambat penemuan-penemuan anomali yang melekat dalam konsep keilmuan Islam yang disusun generasi terdahulu.[48]
Tidak dapat dipungkiri bahwa teori Thomas Kuhn yang dijadikan sandaran oleh Amin Abdullah di atas, dalam beberapa bidang keilmuan sangat bermanfaat untuk memahami bagaimana suatu paradigma mempengaruhi terciptanya sebuah teori. Tetapi penjelasan Kuhn tentang revolusi paradigma di mana paradigma lama ditinggalkan karena telah disepakati paradigma baru, masih mengundang banyak kontroversi. Pada kenyataannya telah terjadi berbagai fenomena yang tidak dapat dibayangkan oleh Kuhn dalam teorinya. Dalam ilmu alam sangat mungkin paradigma baru akan menghapuskan paradigma lama secara revolusi karena fakta (obyek) yang dikaji dalam ilmu alam adalah konstan, stabil dan tetap. Tetapi dalam berbagai bidang ilmu sosial-humaniora terlebih lagi dalam ilmu keagamaan khususnya dalam pandangan Islam, hal ini tidak harus terjadi. Sebagai contoh, persoalan serius yang menadai krisis ilmu pengetahuan, bukanlah pola positivistik yang memang sesuai bila diterapkan pada ilmu-ilmu alam, melainkan positivisme bila diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial yang objeknya adalah manusia, atau ilmu-ilmu keislaman yang memiliki objek yang berbeda.[49] 
Menurut Kaelan, sebelum membahas lebih lanjut tentang hubungan integratif antara ilmu dengan Islam, maka penting untuk dibedakan pengertian Islam sebagai dogma dan sebagai sistem pengetahuan (knowledge system). Selain itu, menurutnya, juga perlu dibedakan antara knowledge sebagai pengetahuan biasa (sehari-hari) dan scientific knowledge sebagai science (ilmu). Sesuatu yang perlu diluruskan adalah kesalahan pola keilmuan di kalangan orientalis yang kemudian diikuti oleh para cendekiawan muslim. Yakni, mereka menetapkan Islam di sisi ilmu pengetahuan, yaitu dengan munculnya Islamic studies. Hal ini, menurut Kaelan mengandung pengertian bahwa Islam hanya diletakan sebagai objek materi ilmu pengetahuan, padahal, di samping sebagai objek material, Islam juga menjadi objek formal. Dengan menempatkan Islam sebagai objek ilmu pengetahuan, tegas Kaelan, maka sebenarnya tidak akan pernah terwujud body of knowledge ilmu-ilmu keislaman. Dengan demikian, tidak akan pernah terwujud cita-cita Reintegrasi Teoantroposentris-integralistik seperti yang digagas oleh Amin Abdullah[50] tentang integrasi epistemologis Islam dan ilmu pengetahuan.[51]
Berkenaan dengan konsep shifting paradigm Thomas Kuhn yang ditawarkan Amin Abdullah, perlu ditekankan di sini bahwa paradigma Islam tidaklah sama dengan paradigma Barat. Di dunia Barat paradigmanya selalu berubah dan berkembang dalam memaknai realitas. Barat tidak memiliki definisi tunggal atau konsep-konsep yang tunggal dan pasti, yang harus direalisasikan dalam kehidupan. Ketika makna yang telah ada gagal direalisasikan maka usaha selanjutnya adalah merubah makna tersebut sehingga sesuai dengan kondisi dan relitas yang ada. Paradigma Barat yang telah berkembang kearah rasionalis-nihilis justru mengantarkan manusia pada kebingungan yang lebih dramatis karena hubungan antara makna dan obyek tidak pernah terselesaikan, maka dalam menghadapi realitas tak ubahnya dengan konsep “untuk tidak bermain curang, rubahlah peraturan”. Hal ini berbeda dengan paradigma Islam. Paradigma Islam bukan sekedar pandangan akal manusia terhadap dunia fisik atau keterlibatan manusia di dalamnya dari segi historis, sosial, politik dan budaya, tetapi mencakup aspek dunia dan akhirat yang telah diformulasi oleh wahyu yang didukung oleh akal dan panca indra. Jadi, hubungan antara makna dan obyek (yang berupa konsep-konsep pokok) dalam Islam telah ditetapkan dan yang menjadi medan ijtihad adalah proses realisasi makna dengan tanpa merusak hubungan makna-obyek yang terkandung dalam nash.
Dengan demikian, gagasan untuk menggeser paradigma (shifting paradigm) berupa kerangka teori, metode dan epistemologi yang digunakan dalam kajian ilmu-ilmu keislaman, tidaklah tepat. Bila shifting paradigm di Barat sangat memungkinkan karena Barat tidak memiliki definisi tunggal atau konsep-konsep yang tunggal dan pasti, yang harus direalisasikan dalam dunia kehidupan. Proses shifting paradigm pun mungkin bagi ilmu-ilmu lain yang senantiasa akan ditemukan anomali-anomali. Hal ini berbeda dengan ilmu-ilmu keislaman dengan paradigmanya yang khas. Paradigma Islam bukan sekedar pandangan akal manusia terhadap dunia fisik atau keterlibatan manusia di dalamnya, tetapi mencakup aspek dunia dan akhirat yang telah diformulasi oleh Al-Qur’an, hadis dan didukung oleh akal, pengalaman dan intuisi.

c.    Al-Qur’an: S{a>lih li Kulli Zama>n wa Maka>n
   Asumsi bahwa Al-Qur’an s}a>lih li kulli zama>n wa maka>n, menurut mereka, mesti dipahami berbeda dengan tradisi ulama klasik. Meski prinsip dan misi utama Al-Qur’an tetap sama, tapi semangat Al-Qur’an menurut mereka, bisa saja berbeda jika ditangkap oleh beberapa generasi yang berbeda.[52] Hal ini karena perkembangan situasi sosial politik, budaya, ilmu pengetahuan, dan revolusi informasi, turut memberi andil dalam usaha memaknai kembali teks-teks keagamaan.[53]Dalam paradigma tafsir klasik, asumsi tersebut dipahami dengan cara memaksakan konteks apa pun ke dalam teks Al-Qur’an. Akibatnya, pemahaman yang muncul cenderung tekstualis dan literalis. Hal itu, menurutnya, berbeda dengan paradigma tafsir kontemporer yang cenderung kontekstual dan bahkan liberal yang selalu berupaya mengkontekstualisasikan makna ayat tertentu dengan mengambil prinsip dan ide universalnya.[54] Ulumul Qur’an klasik, menurut mereka, tidak punya variabel kontekstualisasi. Ia hanya memiliki kesadaran akan pentingnya konteks sebagai salah satu cara untuk menggali makna dari teks. Sehingga yang menjadi kelemahan besar dari kitab-kitab tafsir klasik adalah tidak adanya dialektika antara teks-konteks dan kontekstualisasi.[55]Dengan demikian, menurut mereka, berbagai tawaran teori dan konsep pemahaman dari hermeneutika filosofis dan kritis, merupakan sumbangan paling berharga yang membawa sebuah perspektif baru dalam ilmu tafsir Al-Qur’an.[56]
Sebelum mempersoalkan tentang kontekstualisasi, perlu kiranya dipahami bahwa hermeneutika untuk Bibel dan teks-teks kuno seperti dokumen sejarah dan karya sastra, sangat terkait dengan problem teks, lebih khusus lagi teks-teks masa lampau. Di mana kontak pembaca dan pengarangnya terputus oleh sebuah rentang waktu yang panjang. Oleh karenanya, kata-kata, kalimat-kalimat dan terminologi-terminologi khusus dalam teks itu sulit dipahami atau bahkan bisa disalah pahami. Pembaca berusaha menangkap makna sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengarangnya. Pembaca berhadapan dengan problematika otentisitas makna teks.[57] Demikian pula persoalan tentang tidak adanya dokumen dan bahasa yang original[58] dan terdapat dokumen yang berbeda-beda dan bermacam-macam (sebagaimana yang terjadi pada Bibel)[59]. Oleh karena itu, para teolog Yahudi dan Kristen mencari metode dan pendekatan untuk memahami kembali Bibel melalui hermeneutika dengan selalu melakukan kontekstualisasi supaya dapat dipahami dan sesuai dengan zamannya. Keadaan tersebut, tidak terjadi pada Al-Qur’an. kaum muslimin tidak pernah merasa bermasalah dengan lafaz-lafaz harfiah atau terminologi Al-Qur’an.
Sebenarnya, apa yang mereka tuduhkan kepada para ulama klasik yang memaksakan konteks apa pun ke dalam teks Al-Qur’an sehingga pemahamannya cenderung tekstualis dan literalis dan juga kritikan terhadap ulumul Qur’an yang dianggap tidak punya variabel kontekstualisasi adalah terlalu berlebihan. Selain itu, mereka pun hanya menuduh tapi tidak mengetengahkan bukti atas kritikan dan tuduhan tersebut serta terkesan men-generalisir. Berkenaan dengan masalah kontekstualisasi, memang, semakin jauh jarak dan rentang waktu pembaca tafsir dengan mufasirnya, maka dalam kurun waktu tertentu, penafsiran pun menjadi tidak relevan lagi. Sehingga diperlukan proses kontekstualisasi dan aktualisasi dalam penafsiran supaya sesuai dengan waktu dan tempat tertentu. Namun, perlu dijelaskan  aspek-aspek atau ayat-ayat tentang apakah yang perlu dikontekstualisasikan dan ayat-ayat tentang apakah yang tidak perlu.
Di dalam Al-Qur’an, terdapat ayat-ayat yang muhkama>t, ada prinsip (us}ul) ajaran Islam, ada hal-hal yang bersifat s\awa>bit yang oleh para ulama dikategorikan qat}’i> al-t}ubu>t wa dila>lah sehingga tidak bisa berubah kapan dan di manapun.[60] Ada perkara-perkara yang termasuk dalam al-ma’lu>m min al-di>n bi al-d}aru>rah, ada sesuatu yang telah disepakati secara ijma’ dan mutawatir, yang semuanya itu dapat dipahami dan dimengerti oleh kaum muslimin dengan derajat yakin bahwasanya itu adalah yang dikehendaki Allah. Dalam hal ini, yang dimaksud tafsir adalah berusaha menangkap maksud Allah dalam firman-Nya (baya>n mura>dilla>h) sebatas kemampuan manusia. Maka, penafsiran ulama tafsir terhadap ayat-ayat tersebut, lebih bersifat reproduktif. Kreatifitas mufasir hanya dapat dilihat dalam upayanya mencari solusi problem kehidupan pada masa itu dari petunjuk atau pedoman yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa kitab-kitab tafsir klasik ditulis memang untuk menjawab persoalan zamannya. Walaupun tidak semua problematika hidup pada zaman tersebut mesti baru sama sekali, karena kemungkinan sebagian juga merupakan pengulangan persoalan-persoalan yang terjadi pada masa lalu. Maka, dalam menafsirkan ayat-ayat tentang akidah, ibadah, dan akhwa>l al-syahs}iyyah misalnya, para mufasir klasik tidak lebih dari mengulang tafsir-tafsir terdahulu, apalagi menyangkut ayat-ayat tentang alam semesta, sejarah Nabi, Rasul dan umat pada masa lalu. Begitu juga ayat tentang nilai-nilai moral yang bersifat universal dan berlaku sepanjang zaman.
Di samping itu, terdapat juga ayat-ayat yang dikategorikan z}anni> al-dila>lah sehingga para mufasir berbeda dalam memahami makna kata yang terdapat pada ayat tersebut seperti kata quru>’ (s\ala>s\ah quru>’), la>masa (aw la>mastum al-nisa>’), t}a>ir (qa>lu t}a>irukum ma’akum), kata al-maitah (hurrimat ‘alaikum al-maitah) dan lain-lain.[61] Selain itu, dalam fiqih juga dikenal kaidah taghayyur al-ahka>m bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah (hukum berubah karena perubahan masa dan tempat) dan juga kaidah al-s\a>bit bi al-‘urf ka al-s\a>bit bi al-nas}s} atau juga al-‘a>dah muhakkamah. Kaidah-kaidah ini menunjukan bahwa dimensi waktu dan tempat dapat mempengaruhi ketetapan hukum. ‘Urf (kebiasaan masyarakat setempat) dapat dijadikan sandaran hukum dengan syarat tidak kontradiktif dan menyalahi tuntunan syari’at Islam. Ibnu ‘Abidin menegaskan bahwa ‘urf yang bertentangan dengan nash, tidak bisa menjadi pertimbangan. Begitupula Ibn Najim yang menyatakan bahwa ‘urf tidak bisa menjadi bahan pertimbangan pada persoalan yang ada keterangan nashnya (al-mans}u>s} ‘alaih).[62]
Al-Qur’an memang perlu untuk selalu dikontekstualisasi dan diaktualisasikan untuk merespon persoalan yang berkembang. Sebenarnya, upaya tersebut telah dilakukan oleh para ulama Muslim seperti dalam masalah-masalah fiqih, khususnya dalam bidang ekonomi Islam. Isu seperti investasi waqaf, zakat profesi, dan lain-lain merupakan bukti bagaimana tafsir para ulama merespon perkembangan masyarakat. Sejatinya, ruang untuk melakukan kontekstualisasi masih terbuka lebar. Banyak  masalah-masalah kontemporer yang sesungguhnya menantikan ijtihad-ijtihad segar. Tapi sayangnya sejumlah pemikir Muslim kontemporer hanya sibuk berkutat pada isu-isu lama seperti poligami, hak warisan wanita, hukum hudud, dan qisas yang sesungguhnya tidak memberikan dampak besar dalam perubahan masyarakat Muslim hari ini. Apakah dengan diharamkannya poligami, disamakannya bagian warisan anak laki-laki dan perempuan, dihapuskannya hudud dan qisas, seperti yang diinginkan mereka, masyarakat Islam akan menjadi lebih terhormat dan dihargai, menjadi lebih maju dan berkembang. Sudah sejak lama, hukum hudud dan qisas tidak diterapkan tanpa harus ada reinterpretasi dan sejenisnya. Tapi nyatanya, tetap saja umat Islam terbelakang dan mundur.[63]
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tuduhan terhadap para ulama klasik dan juga ulumul Qur’an yang menurut mereka tidak mengindahkan kontekstualisasi adalah tidak tepat. Khazanah tafsir para ulama dan juga ulumul Qur’an dengan segenap perangkatnya termasuk juga ushul fiqh, selama 14 abad lamanya, dalam jangka waktu yang cukup panjang, telah terbukti dalam membantu umat Islam menghadapi berbagai persoalan dan problematika kehidupan beragama, sosial kemasyarakatan dan aspek kehidupan lainnya. Bagi mereka yang mengkritik, mana kontribusi mereka untuk umat? Selain itu, dapat dipahami bahwa ada ayat-ayat Al-Qur’an yang perlu dikontekstualisasikan atau diaktulisasikan. Akan tetapi upaya tersebut, tidak boleh menyalahi syari’at dan haruslah sejalan dengan prinsip-prinsip epistemologi Islam yang sudah menjadi kesepakatan ummat sepanjang sejarah.

B.  Metodologi Hermeneutika Al-Qur’an “Mazhab Yogya” dalam Studi Al-Qur’an
1.    Teori Penafsiran Ma’na>-Cum-Maghza> “Mazhab Yogya”
a.    Teori Penafsiran Ma’na>-Cum-Maghza>.
Sahiron Syamsuddin membagi aliran hermeneutika dari segi pemaknaan terhadap obyek penafsiran menjadi tiga aliran, yaitu; aliran objektivis, aliran subjektivis dan objektivis-cum-subjektivis.[64] Menurutnya, dengan melihat kecenderungan dari aliran-aliran hermeneutika umum tersebut, ia berpendapat bahwa di sana terdapat kemiripan dengan aliran dalam penafsiran Al-Qur’an saat ini. Sehingga, ia pun membagi tipologi penafsiran Al-Qur’an kontemporer menjadi tiga, yaitu; pandangan quasi-objektivis tradisionalis, pandangan quasi-objektivis modernis dan pandangan subjektivis.[65] Dari ketiga pandangan di atas, menurut Sahiron, yang paling dapat diterima adalah pandangan quasi-objektivis modernis, sebab di sana terdapat “keseimbangan hermeneutika”. Maksudnya, ia memberi perhatian yang sama terhadap makna asal literal (al-ma’na> al-as}li) dan pesan utama (signifikansi: maghza>) di balik makna literal. Dengan memberikan penjelasan tambahan tentang signifikansi,[66] kemudian ia mengistilahkan teori pembacaannya tersebut dengan pembacaan ma’na>-cum-maghza>.
Jadi, teori penafsiran hermeneutika Al-Qur’an mazhab Yogya adalah pembacaan ma’na>-cum-maghza> yaitu, penafsiran yang menjadikan makna asal literal (makna historis, tersurat) sebagai pijakan awal untuk memahami pesan utama teks (signifikansi, makna terdalam, tersirat).[67] Menurut mereka, sesuatu yang dinamis dari penafsiran, bukan makna literal teks, karena ia monistik (satu), objektif, dan historis-statis. Sementara pemaknaan terhadap signifikansi teks, bersifat pluralis, subjektif (juga intersubjektif) dan historis-dinamis sepanjang peradaban manusia. Pendekatan seperti ini, menurut mereka merupakan gabungan antara wawasan teks dan wawasan penafsir, antara masa lalu dengan masa kini, dan antara aspek ilahi dengan aspek manusiawi. Maka, menurut mereka, teori penafsiran yang didasarkan pada perhatian yang sama terhadap makna dan signifikansi (ma’na>-cum-maghza>) terdapat balanced hermeneutics (hermeneutika yang seimbang).[68]
 Mereka menegaskan bahwa teori penafsiran ma’na>-cum-maghza> ini, sejatinya merupakan elaborasi teori aplikasi (Anwendung) Gadamer.[69] Menurut mereka, teori penafsiran ini persis sebagaimana konsep al-Ghazali yang membedakan antara al-ma’na> al-z}a>hir (makna lahiriyah) dan al-ma’na> al-ba>t}in (makna bathin), Nasr Hamid Abu Zayd menamakannya dengan ma’na> dan magza>, Hirch menyebutnya meaning (makna/arti) dan significance (signifikansi), dan Gadamer yang mengistilahkannya dengan sinn (arti) dan sinnesgema\\\\b (makna yang berarti/ mendalam). Interpretasi ini menurut mereka, dilakukan dengan memperhatikan konteks tekstual dengan analisis bahasa sebagai basisnya dan konteks sejarah di mana teks itu muncul dengan analisis historis sebagai intrumennya.[70]

b.   Kritik terhadap Teori Penafsiran Ma’na>-Cum-Maghza>.
a).  Klasifikasi yang Simplistik
Hal pertama yang perlu dicermati adalah masalah pengklasifikasian. Klasifikasi tipologi penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan oleh Sahiron Syamsuddin di atas dengan pertimbangan bahwa adanya kemiripan dengan aliran-aliran hermeneutika umum adalah kurang tepat dan terlalu simplistik. Klasifikasi tersebut terkesan men-generalisir. Kaca mata yang digunakannya, meski nampak rasional dan objektif serta sejalan dengan tuntunan keilmuan kontemporer, tapi secara konseptual, terkesan mengikuti framework orientalis yang dichotomis dan parsial. Di samping itu, penggunaan terminologi quasi, objektif, subjektif pun terlihat sangat kental dengan tradisi keilmuan yang digunakan oleh orientalis dalam mengkaji sebuah disiplin ilmu. Ia pun tidak menjelaskan alasannya secara lebih lanjut. Padahal sebenarnya terdapat banyak perbedaan antara aliran-aliran dalam hermeneutika umum dengan pemikiran dalam tafsir. Dari sisi epistemologis, hermeneutika bersumber dari akal[71] dan objeknya adalah teks Bibel yang bermasalah dan dilatarbelakangi oleh trauma dan protes terhadap otoritas gereja,[72] sehingga memuat z}ann (dugaan), syakk (keraguan), mira>’ (asumsi).[73] Sedangkan tafsir, sumber epistemologinya adalah wahyu Al-Qur’an yang final, tetap dan terjaga keotentikannya.[74] Maka, tafsir Al-Qur’an terikat dengan apa yang disampaikan, diterangkan dan dijelaskan oleh Rasul saw. yang dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan para ulama yang mu’tabar. Karena itu jika klasifikasi tersebut ditujukan untuk aliran dalam hermeneutika barangkali sesuai, tapi tidak tepat dan terlalu simplistik jika dialamatkan untuk tafsir.
Di sisi lain, penilaian Sahiron terhadap ulama yang ia kategorikan dalam aliran quasi-objektif tradisionalis terlalu men-generalisir dan berlebihan tanpa menunjukkan bukti.[75] Anggapannya bahwa mereka literalis dan tidak memperhatikan secara prinsipil maqa>s}id al-syari>’ah, adalah tuduhan yang tidak berdasar. Dalam dunia pemikiran Islam, kajian tentang maqa>s}id al-syari>’ah sama sekali bukan topik yang baru.[76] Menurut Ahmad Rasyuni, kajian ini telah dimulai sejak masa Imam Tirmidzi dalam bukunya al-S}ala>h wa Maqa>s}iduha>, yang menguraikan tentang rahasia di balik ibadah shalat. Kemudian upaya tersebut dilanjutkan oleh para ulama sebelumnya seperti Abu Mansur al-Maturidi, Abu Bakar al-Qaffal al-Syasyi, abu Bakar al-Abhari, Imam al-Baqilani, Imam al-Juwaini, Husayn al-Basri, al-Ghazali, al-Syatibi, Ibnu ‘Asyur dan lain-lain.[77]
Berkaitan dengan teori penafsiran ma’na>-cum-maghza>, seperti yang telah disebutkan di atas, ia merupakan elaborasi dari berbagai konsep dan teori hermeneutika Gadamer, Nasr Hamid Abu Zayd, Hirch termasuk juga Fazlur Rahman yang kesemuanya berpedoman bahwa makna literal merupakan pijakan awal untuk memahami pesan utama teks (signifikansi). Oleh karena itu, di sini akan diketengahkan di sini kritik atas teori hermeneutika para tokoh yang dijadikan sebagai sumber teori penafsiran ma’na>-cum-maghza> tersebut.

b). Pengaruh Hermeneutika Fazlur Rahman
Jika diperhatikan, teori penafsiran ma’na>-cum-maghza> tersebut, terpengaruh oleh teori double movement dan konsep ideal moral-legal formal Fazlur Rahman. Dalam teori gerak gandanya Rahman menerangkan bahwa, gerakan pertama diawali dari pemahaman situasi sekarang menuju ke masa turunnya al-Qur'an, yakni memahami konteks mikro dan makro pada saat itu. Pemahaman tersebut akan dapat melahirkan makna original yang dikandung oleh wahyu di tengah-tengah konteks sosial-moral era kenabian, sekaligus dapat menghasilkan gambaran situasi dunia yang lebih luas. Selanjutnya, pemahaman tersebut akan menghasilkan rumusan narasi atau ajaran al-Qur'an yang koheren tentang prinsip-prinsip umum dan sistemik serta nilai-nilai yang melandasi berbagai perintah-perintah yang bersifat normatif. Sedangkan langkah kedua adalah pemahaman dari masa turunnya al-Qur'an kembali ke masa kini untuk menerapkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai sistematis dan umum dalam konteks pembaca al-Qur'an era kontemporer sekarang ini dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial modern dan humanitis kontemporer.[78] Dari sini, nampak jelas bahwa teori ’signifikansi’ yang dijelaskan oleh Sahiron di atas, terpengaruh oleh teori double movement Fazlur Rahman.
Dalam teori tersebut, Rahman membedakan dua hal, yaitu "ideal moral" dan ketentuan "legal spesifik" Al-Qur’an. Untuk menemukan dua hal tersebut, ia mengusulkan agar dalam memahami pesan Al-Qur’an sebagai satu kesatuan adalah mempelajarinya dengan sebuah latar belakang, sehingga ia dapat dipahami dalam konteks yang tepat.[79] Aplikasi pendekatan kesejarahan ini menekankan akan pentingnya ideal moral Al-Qur’an daripada ketentuan legal spesifik.[80] Dalam teorinya ini, ia melakukan tiga langkah dalam memahami dan menginterpretasi ayat-ayat hukum yaitu; pertama, memahami dan memaknai pernyataan dengan melihat situasi sosio-historis pada saat pernyataan itu muncul. Kedua, membuat kesimpulan terhadap pernyataan tersebut dengan mengklasifikasikan aspek ideal moral dan legal formal. Terakhir, ideal moral yang didapatkan sebagai kesimpulan tersebut dibawa ke konteks sekarang sesuai dengan sosio-historisnya.[81]
Jika teori Rahman diaplikasikan, maka akan berakibat pada perubahan bahkan dekonstruksi hukum ayat-ayat hukum yang qat}'i> dalam al-Qur'an. Perubahan tersebut senantiasa berlanjut mengiringi perbedaan waktu dan tempat sesuai dengan konteks sosio-historisnya yang berakibat terjadinya relatifitas penafsiran. Penafsiran akan selalu terbuka dan perlu untuk direvisi. Tidak akan pernah ditemukan kebenaran mutlak karena ia kondisional, tergantung budaya dan lingkungan historis. Hal ini pun menunjukan bagaimana Fazlur Rahman menggunakan worldview Barat ala Hegel yang menyatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman itu bersifat on going process, di mana apa yang diketahui dan yang mengetahui terus berkembang. Begitupun dengan teori ma’na>-cum-maghza>, jika ia diterapkan dalam penafsiran, maka akan menganulir hukum tersurat dalam al-Qur'an yang qat}'i> dan merelatifkan penafsiran.

c).  Pengaruh Hermeneutika Gadamer
Gadamer menyatakan bahwa sejarahlah yang membentuk kesadaran. Pengetahuan pun terbentuk oleh sejarah. Ia mengistilahkan teorinya tersebut dengan teori kesadaran sejarah (effective-historical conciousness).[82] Secara umum dapat dijelaskan bahwa inti dari teori kesadaran sejarah tersebut dan teori prapemahaman adalah bahwa seorang penafsir harus hati-hati dalam menafsirkan teks dan tidak menfasirkannya sesuai dengan kehendaknya yang semata-mata berasal dari prapemahaman yang telah terpengaruh oleh sejarah sejarah (pengetahuan awal, pengalaman dll.). Adapun dengan teori the fusion of horizons, ia menyatakan bahwa dalam proses penafsiran, terdapat dua horison utama yang harus diperhatikan dan diasimilisasi, yaitu horison teks dan horison penafsir. Sedangkan teori aplikasi (Anwendung) adalah teori yang menegaskan bahwa setelah seorang penafsir menemukan makna yang dimaksud dari sebuah teks pada saat teks itu muncul, ia lalu melakukan pengembangan penafsiran atau reaktualisasi/ reinterpretasi dengan tetap memperhatikan kesinambungan ‘makna baru’ dengan makna asal sebuah teks.[83]
 Teori hermeneutika Gadamer ini, jika diaplikasikan untuk menafsirkan Al-Qur’an, maka berimplikasi bahwa penafsiran akan selalu terbuka. Hal tersebut karena wawasan pemahaman tidaklah tetap, tetapi berubah untuk meraih persamaan paham. Selain itu, ia juga menyakini bahwa kesamaan pendapat dan pemahaman, bermakna ilmu pengetahuan. Pendapat tersebut tentunya tidak tepat karena meleburnya wawasan (the fusion of horizons), tidak identik dengan kebenaran. Penafsiran terhadap Al-Qur’an dan dicampurkan dengan penafsiran tradisi (kesadaran sosial) yang akan menghasilkan berbagai warna Islam seperti Islam kejawen, Islam pribumi, Islam Indonesia, Islam UIN, Islam Jogja dan lain-lain, tidaklah sesuai dengan pandangan dan akidah umat Islam yang universal.[84]
Di sisi lain,  Hermeneutika Gadamer mensyaratkan agar hasil penafsiran bersifat relatif. Oleh karenanya, maka tafsir tersebut harus selalu direvisi. Implikasinya, ia akan menggugat hal-hal yang sudah mapan dalam penafsiran Al-Qur’an. Ia menyatakan bahwa penafsir dan teks senantiasa terikat oleh konteks tradisinya masing-masing. Penafsir tidak mungkin melakukan penafsiran dari sisi yang netral. Penafsiran menurutnya, merupakan reinterpretation yakni, memahami lagi teks secara baru dan dengan makna baru pula. Padahal, dalam sejarah perkembangan tafsir, terbukti bahwa para ulama tafsir tidak selamanya terpengaruh dengan tradisi, latarbelakang sosial dan budayanya. Fakta bahwa mufassir dari zaman ke zaman, lintas waktu dan ruang, namun tetap memiliki kesamaan pendapat, menunjukan refleksi mufassir menembus relativitas penafsiran.[85] Dengan demikian, teori ma’na>-cum-maghza> yang mengadopsi konsep dari hermeneutika Gadamer, jika diaplikasikan akan menghasilkan tafsir Al-Qur’an yang bercampur dengan tradisi tertentu, dan merelatifkan tafsir Al-Qur’an.

d).  Pengaruh Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd
Sahiron Samsuddin menyatakan bahwa teori ma’na>-cum-maghza> sejalan dengan dengan teori takwi>l Nasr Hamid Abu Zayd yang membedakan antara keterkaitan makna asli (ma’na>) dan makna baru (magza>).[86]Nasr Hamid sendiri, mengikuti gagasan hermeneutika E. D. Hirsch.[87] Menurut Nasr Hamid, makna dari sebuah teks tidak berubah, yang berubah adalah signifikansinya. Makna adalah apa yang direpresentasikan oleh teks dan tanda-tanda. Sedangkan signifikansi adalah apa yang menamai sebuah hubungan antara makna itu dan seseorang atau persepsi, situasi, atau sesuatu yang bisa dibayangkan.[88]Nashr Hamid mengenalkan studi Al-Qur'annya dengan proposisi hubungan antara teks (nas}) dan interpretasi (takwi>l). Menurutnya, selama ini ulama selalu memisahkan antara teks dan takwi>l, takwi>l dianggap sebagai suatu yang tabu, dan dilarang. Ini mengakibatkan teks menjadi tertutup dan makna-makna yang terkandung menjadi tidak bisa dicapai. Sehingga menurutnya, perlu untuk meninggalkan metode (yang menurutnya) tradisional, dengan meletakkan ‘konsep teks’ (mafhu>m al-nas}) sebagai pusat pengkajian, sehingga penggunaan teori hermeneutika menjadi keniscayaan. Dengan demikian dapat meminimalisasikan subyektifitas dan kepentingan-kepentingan ideologis dalam interpretasi.[89]
Tentunya tuduhan Nashr Hamid tersebut, tidak tepat. Mengingat selama ini penafsiran terhadap nash-nash al-Qur'an sudah tak terhitung jumlahnya. Apa yang ia sebut takwi>l sebagai interpretasi bukanlah hal yang dimaksud oleh para ulama. Karena takwi>l yang ditawarkan oleh Nashr Hamid adalah takwi>l yang hanya didasarkan oleh akal manusia sepenuhnya yang tentunya akan sangat bersifat relatif jika di terapkan dalam penafsiran al-Qur'an. Di samping itu, jika ulama menggunakan takwi>l pada ayat-ayat mutasya>biha>t saja, tapi, Nashr Hamid menerapkannya pada ayat-ayat yang sebenarnya muh}kama>t.[90] Ia meyakinkan bahwa metode yang ditawarkan adalah yang objektif, dan interpretasi ulama selama ini bersifat subjektif (talwi>n), karena telah dipengaruhi oleh ideologi atau kekuasaan tertentu. Namun pada hakekatnya Nashr Hamid sendiri sudah subjektif dalam interpretasinya, karena dengan sendirinya kerangka berfikir yang dibangun telah di pengaruhi oleh mazhab objektif itu sendiri seperti schleiermacher, Dilthey, Betti ataupun Hirsch.[91]
   Dari pemaparan di atas, maka dapat ditarik benang merah bahwa teori penafsiran hermeneutika Al-Qur’an mazhab Yogya yang mereka istilahkan dengan teori ma’na>-cum-maghza>, merupakan metode penafsiran hasil dari elaborasi dari beberapa teori atau konsep hermeneutika. Teori ini sejalan dengan konsep hermeneutika Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, dan Gadamer. Namun demikian, pada contoh aplikasi metode ini akan ditemukan bahwa, mereka pun senada dengan penafsiran Amina Wadud dan Syahrur. Hal tersebut menunjukan bahwa teori ma’na>-cum-maghza> ini senada dengan metode-metode tafsir kontemporer yang digagas oleh para pemikir liberal di mana mereka lebih menekankan bahwa pesan utama Al-Qur’an adalah apa yang terdapat dibalik teks (signifikansi). Adapun makna literal (al-ma’na> al-as}li), hanya sebagai pijakan awal untuk memperoleh signifikansi tersebut. Signifikansi teks, menurut mereka bersifat pluralis, subjektif (juga intersubjektif) dan historis-dinamis sepanjang peradaban manusia. Dari sini dapat dipahami bahwa jika teori ini diaplikasikan dalam penafsiran Al-Qur’an, maka akan menghasilkan penafsiran yang relatif, tentatif dan dinamis yang selalu menuntut perubahan sesuai dengan semangat zaman dan latar belakang sosial dan budaya. Implikasinya, tidak ada penafsiran yang final. Maka umat Muslim pun tidak akan pernah memahami secara pasti kebenaran ajaran atau kandungan kitab sucinya, karena ia dinamis dan senantiasa berubah.

2.    Contoh Aplikasi Metodologi Penafsiran Ma’na>-Cum-Maghza>.
a.    Aplikasi Metodologi dalam Penafsiran Ayat tentang Waris
Dalam buku Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya tidak diketengahkan contoh aplikasi. Mereka hanya memaparkan contoh aplikasi dari teori penafsirannya Muhammad Syahrur. Oleh karena itu, di sini penulis akan memaparkan contoh aplikasi teori penafsiran mereka yang terdapat dalam Jurnal Al-Qur’an dan Hadis[92] tentang ayat waris (Q.S. al-Nisa’ [4]: 11). Ayat tersebut berbunyi:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ.  
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan…”
Ketika mengomentari ayat tersebut, Sahiron Syamsuddin mengatakan bahwa sebagian besar ulama (dalam hal ini ia mencontohkan penafsiran dari Ibn Katsir)[93] cenderung memandang makna literal teks tersebut sebagai pesan utama ayat dan bersifat final. Yakni, dalam pembagian harta warisan, seorang laki-laki mendapatkan harta pusaka dua kali lipat lebih besar dari pada bagian seorang perempuan. Dan karena secara bahasa pernyataan ini sangat jelas dan substansinya telah dipraktikkan sejak zaman Nabi saw, maka sebagian besar ulama memandang penggalan ayat tersebut (termasuk juga ayat-ayat tentang waris secara keseluruhan) sebagai qat}’iyat al-dala>lah (menunjukan arti yang pasti). Konsekuensinya, aturan ini harus diikuti oleh semua orang Islam di manapun dan kapanpun.[94]
Menurut Sahiron Syamsuddin, sebenarnya dalam diri para ulama dahulu, sudah tertanam begitu dalam kesadaran akan keadilan. Namun, menurutnya, mereka tidak menyadari bahwa konsep keadilan tersebut ternyata berkembang sesuai dengan perkembangan pemikiran dan pengalaman manusia (dinamis). Ia mengajukan pertanyaan, bagaimana jika kondisi berubah, seperti halnya jika kaum wanita juga ikut serta dalam menanggung beban materi kehidupan dan berperan dalam bidang bisnis? Terkait dengan hal ini, ia mengutip pendapatnya Amina Wadud yang menyatakan bahwa sistem pembagian dua berbanding satu tidaklah harus diamalkan secara mutlak, tapi bisa ditafsirkan ulang dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat.[95]
Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa model tafsir mereka berbasis ma’na>-cum-maghza>, yakni model tafsir yang memberikan keseimbangan perhatian terhadap makna asal literal teks dan signifikansinya (pesan utamanya). Maka, dengan model tafsir tersebut, mereka tidak mengingkari makna literal yang menunjukan pembagian dua banding satu. Menurut mereka, pembagian ini dipandang sebagai aturan yang adil sesuai dengan pemahaman pada masa Rasul saw. dan hal tersebut dikarenakan konteks historis bangsa Arab saat itu, di mana hanya laki-laki saja yang mendapatkan harta pusaka sebab mereka yang mampu berperang. Kaum perempuan sama sekali tidak mendapatkan harta pusaka. Menurutnya, pembagian tersebut dipandang sebagai sesuatu yang dapat diterima dan sesuai dengan rasa ‘keadilan historis’.[96]
Namun demikan, menurut mereka, pembagian di atas, bukanlah sesuatu yang inti, bukan pesan utama penurunan wahyu. Pesan utama/ signifikansinya adalah pemberian hak waris kepada wanita dan penegakan keadilan. Dalam hal ini, mereka sependapat dengan Nasr Hamid Abu Zayd yang menafsirkan ayat tersebut dengan pendekatan historis. Nasr Hamid berpendapat bahwa signifikansi ayat itu adalah pembatasan (tahdi>d) terhadap bagian kaum laki-laki.[97] Mereka juga sependapat dengan pandangan Muhammad Syahrur yang menyatakan bahwa bagian anak laki-laki merupakan ‘batas maksimal’ (al-hadd al-a’la>), sementara bagian anak perempuan dipandang sebagai ‘batas minimal’ (al-hadd al-adna>). Dengan begitu, maka anak laki-laki tidak boleh mendapat warisan lebih besar dari dua kali lipat bagian anak perempuan, tapi boleh kurang dari itu, adapun anak perempuan tidak boleh mendapat lebih kecil dari setengah bagian laki-laki, tapi boleh lebih besar dari itu, sesuai dengan kondisi masyarakat dan tuntutan zaman. Menurut Sahiron Syamsuddin, pemahaman ayat yang seperti inilah yang selalu memperhatikan ‘kesadaran akan konsep keadilan’ dengan tidak harus selalu mengikuti makna literal dari sebuah teks.[98]


b.   Kritik atas Aplikasi Metodologi dalam Penafsiran Ayat tentang Waris
Dalam penafsiran mereka terhadap ayat Q.S. al-Nisa’ [4] ayat 11 tentang waris di atas, jelas sekali bahwa mereka menolak penafsiran para ulama klasik. Meskipun mereka menyadari bahwa penafsiran ayat tersebut (seorang laki-laki mendapatkan harta pusaka dua kali lipat lebih besar dari pada bagian seorang perempuan) telah dipraktikkan sejak zaman Nabi saw dan aturan tersebut telah dipraktikan pula oleh umat muslim secara umum. Di samping itu,  jumhur ulama pun memandang penggalan ayat tersebut sebagai qat}’iyat al-dala>lah. Mereka pun tidak mengingkari makna literal ayat tersebut dan juga konsep keadilan yang dikandungnya. Namun Demikian, karena bertolak dari teori penafsiran ma’na>-cum-maghza>, yang berpegangan bahwa pesan utama Al-Qur’an adalah apa yang ada di balik teks (maghza>), bukan makna literal teks, maka pemahaman mereka terhadap ayat tersebut pun kontradiktif dengan penafsiran para ulama terdahulu yang mu’tabar seperti Ibn Katsir, Abu Ja’far al-Thabary, Muhammad Ali as-Shabuny dll.
Terkait dengan masalah keadilan, menurut mereka, keadilan yang diusung ayat tersebut adalah ‘keadilan historis’ yang hanya berlaku dan cocok pada masa Rasulullah saw, tidak untuk saat sekarang ‘keadilan dinamis’. Pertanyaanya adalah sejauh mana batasan dari keadilan yang dinamis itu? Pandangan Amina Wadud yang menyatakan bahwa pembagian warisan bersifat fleksibel asal memenuhi asas manfa'at dan keadilan, jika dianalisis, sebenarnya pendapatnya itu bertentangan dengan firman Allah Q.S. al-Nisa' ayat 7, di mana dalam ayat tersebut telah ditentukan bagian laki-laki dan perempuan, sedikit ataupun banyak, sudah merupakan ketentuan dari Allah. Lafadz nas}i>ban mafru>d}a menunjukkan berlaku asas ijba>ri>, artinya ketentuan warisan itu mutlak dan tidak ada hak bagi pewaris untuk mengurangi atau menambah. Selain itu, implikasinya, jika pembagian warisan secara fleksibel, akan  membuka kesempatan terjadinya perselisihan, terutama dalam menilai manfaat dan keadilan itu sendiri. Setiap ahli waris tentu mempunyai pandangan yang berbeda, apalagi bila dimasuki oleh kepentingan-kepentingan pribadi. Maka dari itulah Al-Qur'an menentukan secara pasti (qat}’i>) bagian tiap-tiap ahli waris. Di samping itu, pemahaman mereka yang sejalan dengan konsep pembatasan (tahdi>d) Nasr Hamid Abu Zayd, perlu pula dikritisi. Tentang teorinya al-masku>t ‘anhu, menggambarkan bahwa Nasr Hamid seolah-olah mengerti ‘maksud Allah’ yang tidak difirmankan-Nya. Padahal ia sendiri mengingkari Al-Qur’an dalam bentuknya yang mutlak di lawh al-mahfu>z}, karena menurutnya tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Selain itu, ia pun berpendapat bahwa manusia yang relatif tidak akan pernah mengetahui maksud Tuhan yang mutlak. Hal ini membuktikan bahwa pendapatnya kontradiktif dan tidak konsisten.[99]
Menanggapi pendapat dan penafsiran di atas, perlu kiranya diketengahkan pendapat para ulama terdahulu terhadap ayat-ayat yang berbicara tentang waris secara keseluruhan (Q.S. al-Nisa’ [4]: 11, 12 dan 176 ). Ayat-ayat ini menerangkan tentang pembagian waris secara jelas dan terperinci. Di dalamnya telah diuraikan bagian tiap ahli waris, ukuran yang diterima dan syarat-syaratnya. Siapa saja yang berhak mendapat warisan yang tetap (bi al-fard}), berdasarkan kelebihan harta ('as}a>bah), atau berdasarkan dua sistem tersebut (bi al-fard} dan 'as}a>bah), siapa saja ahli waris yang terhalang haknya oleh ahli waris yang lain karena kedekatan hubungan darah atau kerabat, baik secara keseluruhan atau sebagian. Tiga ayat tersebut adalah asas ilmu waris Islam (‘ilmu fara>id}). Tidak ada satupun dari ayat-ayat tersebut menyisakan keraguan bagi tiap individu yang berhak, karena tidak ada unsur kedzaliman. Bahkan Para ulama, baik salaf maupun kontemporer yang menulis tentang ilmu waris, pada dasarnya hanya menerangkan ayat-ayat waris di atas.[100] Ini menunjukkan bahwa pembagian warisan di dalam Al-Qur'an telah jelas dan tidak perlu reinterpretasi.
Menurut Muhammad Ali al-Shabuny, anak laki-laki menerima bagian lebih besar karena beberapa hal. Pertama, perempuan selalu terpenuhi segala kebutuhannya, karena nafkahnya menjadi tanggung jawab anak laki-lakinya, ayahnya, saudara laki-lakinya, dan setelah menikah, tanggung jawab suaminya. Selain itu, perempuan tidak punya kewajiban berinfaq untuk orang lain, sedangkan laki-laki mempunyai tanggung jawab terhadap keluarga dan kerabatnya. Hal lain, karena belanja laki-laki dan pengeluaran keuangannya lebih besar dari pada perempuan, maka harta yang dibutuhkan jauh lebih banyak. Di samping itu, laki-laki ketika menikah, mempunyai kewajiban membayar mahar, di samping menyediakan tempat tinggal dan memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya setelah berumah tangga. Dan yang terakhir karena biaya pendidikan dan pengobatan anak-anak dan istri adalah tanggung-jawab suami.[101]
Adapun menurut Abu Ja’far al-Thabary, ayat tersebut tidak menunjukkan kekurangan perempuan, justru ayat tersebut menjelaskan keadilan baginya. Mengingat pada masa sebelum Islam, perempuan dan anak-anak tidak memperoleh warisan, dengan alasan bahwa mereka tidak menunggang kuda, tidak berperang dan membawa senjata. Pembagian tersebut -setelah datangnya Islam-, sangat adil dan bukan berarti wanita direndahkan.[102] Mengomentari banyaknya syubhat tentang ketidakadilan dalam warisan, Muhammad Imarah mengatakan bahwa pembagian warisan dalam Islam merupakan hikmah ilahiyah dan syariat yang sempurna, yang tidak diketahui oleh banyak orang. Dan pembagian tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah kelamin, laki-laki maupun perempuan secara mutlak.[103] Selain itu, pengendalian emosi antara laki-laki dan perempuan sangat berbeda. Secara umum, laki-laki lebih mampu mengendalikan emosinya dibandingkan perempuan. Ini menunjukkan pengendalian harta atas dasar pertimbangan akal harus didahulukan daripada pengendaliannya atas dasar emosi. Bahkan, kalau ditinjau dari kepemihakan, sejatinya Al-Qur'an lebih berpihak kepada perempuan. Laki-laki membutuhkan istri sebagaimana juga perempuan membutuhkan suami. Namun laki-laki berkewajiban membelanjai istrinya, sedangkan perempuan justru dicukupi segala kebutuhannya oleh sang suami.[104]
Menurut al-Maraghi, masalah tersebut mengandung rahasia syari’at (asra>r al-syar’iyyah) yaitu kebiasaan yang berlaku bahwa perempuan tidak disibukan dalam aktivitas publik seperti politik dan ekonomi. Oleh karena itu, ingatan mereka dalam masalah ini adalah lemah, akan tetapi dalam masalah keluarga atau rumah tangga, ingatan mereka lebih kuat dibandingkan kaum laki-laki. Karena kekuatan pikiran manusia, sangat dipengaruhi oleh sesuatu yang menjadi pusat perhatian dan keinginannya. Sekalipun pada masa sekarang, perempuan telah banyak berkecimpung dalam dunia publik, hukum ini tetap berlaku dan tidak ada perubahan, karena hukum al-Qur’an melihat sesuatu secara menyeluruh bukan parsial dan temporal.[105]  
Dari penjelasan para ulama di atas, jelaslah bahwa penafsiran ayat-ayat tentang waris bersifat qat}’i> al-dila>lah, bersifat pasti dari Allah dan tidak boleh dirubah. Bila dicermati secara mendalam, ayat tersebut pun sama sekali tidak terdapat penindasan, diskriminasi, ketidakadilan ataupun “bias gender”. Bagi mereka yang menganggap bahwa ayat tersebut tidak adil, hal ini dikarenakan cara pandang mereka yang menggunakan kaca mata Barat dalam memahami Islam. padahal, Islam begitu luar biasa mengangkat derajat kaum perempuan dan memuliakan mereka. Hal tersebut, berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Barat.

C.  Implikasi Metodologi Hermeneutika Al-Qur’an “Mazhab Yogya” dalam Studi Al-Qur’an
Interpretasi teks keagamaan, bisa dibilang merupakan fondasi dalam memahami dan menjalankan suatu agama. Jika memahami teks tersebut salah, maka praktek keagamaan yang lahir darinya bisa dipastikan akan salah pula. Begitupula halnya dengan hermeneutika sebagai metode atau pendekatan tafsir Al-Qur’an. Hermeneutika yang notobene ‘baru’ dalam tradisi Islam, dengan segala perangkatnya, akan memberikan dampak pada penafsiran Al-Qur’an. Konsekuensi logis dari aplikasi metodologi hermeneutika Al-Qur’an mazhab Yogya yang mereka istilahkan dengan teori penafsiran ma’na>-cum-maghza> ini, secara garis besar akan berimplikasi pada dekonstruksi hukum-hukum Islam dan juga epistemologi ulumul Qur’an.  Lebih lanjut tentang implikasi dari aplikasi metode hermeneutika tersebut, akan dipaparkan di bawah ini.
1.    Implikasi Epistemologis 
a.    Mendekonstruksi Konsep Wahyu Al-Qur’an
Para penggagas hermeneutika Al-Qur’an mazhab Yogya menganggap  bahwa teks wahyu Al-Qur’an sebagaimana teks manusiawi lainya yang tidak sakral. Hal ini karena mereka mengikuti metode interpretasi hermeneutika filosofis Nasr Hamid Abu Zayd, yang menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya (muntaj s\aqafi>), fenomena sejarah (z}a>hirah ta>ri>khiyyah), teks linguistik (al-nas}s} al-lughawi>) dan teks manusiawi (al-nas}s} al-insani>), maka usaha yang pertama kali dilakukan adalah mereduksi teks wahyu Al-Qur’an menjadi teks-teks manusiawi yang tidak memiliki makna kesucian. Yaitu dengan mengesampingkan nilai-nilai kewahyuan yang terdapat dalam Al-Qur’an. Hal tersebut dilakukan agar dapat melakukan analisa dan kritik teks.[106]
Menurut mereka, pandangan mendasar kaum muslimin selama ini terhadap Al-Qur’an yang seakan terlepas dari konteks historis dan sosio-kulturalnya adalah kurang tepat. Padahal, teks Al-Qur’an bersifat historis yang lekat dengan bahasa dan budaya tertentu. Di samping itu, ia menegaskan bahwa, secara umum para ulama klasik tidak banyak mengulas tentang status ontologis teks Al-Qur’an. Ia sering ditempatkan dan dipahami dalam definisi dan etika teologis, yaitu sebagai wahyu Tuhan yang disampaikan kepada Muhammad saw. melalui Malaikat Jibril. Padahal menurutnya, dalam definisi dan etika linguistik, Al-Qur’an terdiri dari kata, kalimat, paragraf, dan tanda-tanda baca yang sarat makna. Karenanya, dilihat dari aspek ini, ia setara dan dapat didekati sebagaimana teks-teks lain. Namun demikian, menurutnya, hal ini tidak berarti menafikan inspirasi Al-Qur’an yang bersifat ilahi. Karena sakralitas atau kesucian sebuah kitab suci -dengan meminjam istilah Fritchouf Schoun- tidak terletak pada ontologisnya dalam bentuk teks, melainkan pada aspek inspirasinya. Sehingga, menurut mereka, yang membedakan antara kitab suci (Al-Qur’an, Injil, dan Taurat) dengan karya lain, berada pada wilayah inspirasinya.[107] Jadi, menurut mereka letak kesakralan Al-Qur’an terletak pada wilayah inspirasinya, bukan teksnya itu sendiri.
   Pendapat yang dilontarkan oleh mereka tersebut, tidaklah tepat. Dalam konsep dasar keyakinan kaum Muslimin, Al-Qur’an itu, baik secara lafadz maupun maknanya berasal dari Allah (lafz}an wa ma’nan min Allah). Dalam konsepsi Islam, Nabi Muhammad saw. hanyalah sekedar menyampaikan, dan tidak mengapresiasi atau mengolah wahyu yang diterimanya untuk kemudian disampaikan kepada umatnya. Posisi beliau sebagai penerima wahyu adalah pasif, hanya sebagai penyampai apa yang diwahyukan kepadanya. Beliau tidak mengurangi, menambah, atau memodifikasi apa yang diterimanya.[108] Beliaupun terjaga dari segala kesalahan, karena beliau ma’s}u>m. Hal tersebut dibuktikan dengan firman Allah Swt. dalam Q.S. al-Haqqah [69] ayat 44-46, “Seandainya dia (Nabi Muhammad saw.) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami (Allah), niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.” Begitupula firman-Nya dalam Q.S. fushshilat [41] ayat 6: Katakanlah: "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku”. Dan ditegaskan dalam Q.S. al-Najm [53] ayat 3-4: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya (Muhammad saw.). ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” Ayat-ayat di atas menunjukan bahwa Al-Qur’an bukan teks manusiawi (perkataan Nabi Muhammad saw.) sebagaimana pernyataan mereka.
   Pernyataan mereka yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya juga tidak tepat. Teks-teks Al-Qur’an memang berbahasa Arab dan sebagaian ayatnya berbicara tentang budaya ketika itu. Akan tetapi, Al-Qur’an tidak tunduk pada budaya Arab. Ketika Al-Qur’an diturunkan secara gradual, ia ditentang dan menentang budaya Arab Jahiliyyah saat itu. Justru Al-Qur’an merombak budaya Arab dan membangun suatu pola pemikiran dan peradaban baru. Al-Qur’an juga bukan teks bahasa Arab biasa sebagaimana teks-teks sastra Arab lainnya. Menurut al-Attas, bahasa Al-Qur’an adalah bahasa Arab bentuk baru. Sejumlah kosa kata pada saat itu telah diislamkan maknanya. Ia telah mengislamkan struktur-struktur konseptual, bidang-bidang semantik dan kosa kata Al-Qur’an. Khususnya istilah-istilah dan konsep-konsep kunci yang digunakan untuk memproyeksikan hal-hal yang bukan dari pandangan hidup Islam (Islamic worldview).[109] Jadi, Al-Qur’an bukanlah produk budaya karena ia bukanlah hasil kesinambungan dari budaya yang ada. Ia justru membawa budaya dan bahasa yang baru yang menentang serta mengubah yang sudah ada sebelumnya.

b.   Merelatifkan Kebenaran Tafsir Al-Qur'an
Dengan konsep penafsiran ma’na> cum maghza>, para penggagas hermeneutika Al-Qur’an mazhab Yogya menganut paham relativisme tafsir Al-Qur’an. Mereka menyatakan bahwa secara normatif, Al-Qur’an diyakini memiliki kebenaran mutlak, namun kebenaran produk penafsiran Al-Qur’an bersifat relatif dan tentatif. Sebab, tafsir dalah respons mufasir ketika memahami teks kitab  suci, situasi, dan problem sosial yang dihadapinya.[110] Tidak ada tafsir yang tetap, semua tafsir dipandang sebagai produk akal manusia yang relatif, kontekstual, temporal, dan personal. Amin Abdullah menegaskan fungsi hermeneutika sebagai berikut:
“Dengan sangat intensif, hermeneutika mencoba membongkar kenyataan bahwa siapapun orangnya, kelompok apapun namanya, kalau masih pada level manusia, pastilah ‘terbatas’, ‘parsial-kontekstual’ pemahamannya, serta ‘bisa keliru’. Hal ini tentu berseberangan dengan keinginan egois hampir semua orang untuk ‘selalu benar’.”[111]
Begitu pula pernyataan Amina Wadud yang dikutip oleh Ahmad Baidhowi:
No method of Quranic exegesis fully objectives. Each exegete makes some subjective choices.” “(Tidak ada metode penafsiran Al-Qur’an yang sepenuhnya objektif. Masing-masing penafsir Al-Qur’an yang membuat pilihan-pilihan yang subjektif).”[112]
Demikianlah salah satu dampak dari hermeneutika, yakni memunculkan keraguan terhadap kebenaran tafsir Al-Qur’an.
   Seringkali, mereka menyatakan bahwa “perlu dibedakan antar agama dengan keberagamaan, jangan mensucikan pemikiran agama.” “Agama mutlak, sedang pemikiran keagamaan adalah relatif”. “Manusia adalah relatif, oleh karena itu, semua produk akal manusia adalah relatif juga”. “Tafsir tidak semutlak seperti wahyu itu sendiri”.[113] “Kebenaran itu relatif, ia tidak memihak”. “Pemikiran manusia itu relatif, yang absolut hanya Tuhan”. “Kebenaran itu relatif, dalam arti ‘tergantung’ jadi, cenderung perspektifal dan tidak final”.[114] “Tidak ada penafsiran yang benar-benar objektif karena seorang mufasir sudah memiliki prior text yang menyebabkan kandungan teks itu menjadi “terreduksi” dan terdistorsi maknanya.”[115] Dan ungkapan-ungkapan lain yang sejenis. Sepintas, ungkapan dan cara berfikir semacam itu logis dan masuk akal. Padahal, dampaknya sangat berbahaya karena merelatifkan semua hasil pemikiran manusia tentang kebenaran.
   Al-Qur’an diturunkan untuk dipahami manusia. Manusia diperintahkan menyakini kebenaran yang mutlak, pada tataran manusia, bukan pada tataran Tuhan. Dengan segala kemampuan yang dimilikinya dan juga keterbatasan yang ada padanya, setiap manusia normal pada hakikatnya dapat mengetahui (‘ilm), mengenal (ma’rifah), memilih (ikhtiya>r), memilah (tafri>q), membedakan (tamyi>z), menilai dan menentukan (hukm) mana yang benar dan mana yang salah (al-s}awwa>b wa al-khat}a’), mana yang haqq dan mana yang ba>t}il, mana yang baik dan mana yang buruk (al-khair wa al-syarr), mana yang bermanfaat dan mana yang membahayakan (ma> yanfa’ wa ma> yad}urr) dan lain sebagainya.[116] Para mufassir Al-Qur’an, meskipun mereka berbeda dalam beberapa hal, menyangkut ayat-ayat yang memang z}anni> al-dila>lah, tetapi mereka juga banyak bersepakat dalam berbagai hal. Pemahaman mereka pada ayat tertentu, tidak berbeda, dan sampai pada tahap kepastian kebenaran. Misalnya, pemahaman para mufassir bahwa Nabi Muhammad saw. adalah nabi terakhir, bahwa Allah adalah Esa (A>had), Allah tidak punya anak dan diperanakan, pemahaman bahwa shalat lima waktu, zakat, haji, puasa Ramadhan adalah wajib, riba, babi, zina, judi adalah haram, dan lain sebagainya, adalah contoh-contoh pemahaman yang tidak “parsial-kontekstual” dan “tidak mungkin keliru”. Pemahaman para ulama tafsir tentang hal-hal yang pokok dan mendasar dalam Islam seperti di atas, tidak pernah beda dan pasti kebenarannya.
  
c.    Mendekonstruksi Konsep Epistemologi Islam
Salah satu dampak dari penggunaan metode hermeneutika adalah menjungkirbalikan struktur struktur epistemologi Islam. Di dalam Al-Qur’an, terdapat ayat-ayat yang muhkama>t, ada prinsip (us}ul) ajaran Islam, ada hal-hal yang bersifat s\awa>bit yang oleh para ulama dikategorikan qat}’i> al-t}ubu>t wa dila>lah, ada perkara-perkara yang termasuk dalam al-ma’lu>m min al-di>n bi al-d}aru>rah, ada sesuatu yang telah disepakati secara ijma’ dan mutawatir, yang semuanya itu dapat dipahami dan dimengerti oleh kaum muslimin dengan derajat yakin bahwasanya itu adalah yang dikehendaki Allah. Apabila filsafat hermeneutika digunakan untuk menafsirkan Al-Qur’an, maka ayat-ayat yang qat}'i> al-s\ubu>t dan qat}'i> al-dila>lah (yang mempunyai satu makna yang jelas dan tetap, tanpa ada penafsiran lain) bisa berubah menjadi z}anni>, yang muh}kama>t bisa berubah menjadi mutasya>biha>t, yang s\awa>bit menjadi mutaghayyira>t, yang us}u>l bisa menjadi furu>’, yang ma’lu>m  bisa menjadi majhu>l, yang ijma>’  bisa berubah menjadi ikhtila>f, yang mutawattir bisa menjadi ahad,  yang yaqi>n bisa menjadi z}ann atau bahkan syakk. Hal tersebut karena filsafat hermeneutika tidak membuat pengecualian terhadap hal-hal yang axiomatic seperti di atas.
Lebih jauh lagi, dengan menggunakan metode penafsiran ma’na> cum maghza>, yang menyakini bahwa pesan utama dari Al-Qur’an adalah apa yang ada dibalik tek (maghza>), maka kaidah ushuliyah yang mereka gunakan adalah; al-‘ibrah bi al-maqa>s}id al-syari>’ah” (Perintah itu karena tujuan syari’at).[117] Mereka berpendapat bahwa setiap tindakan yang mengandung mas}lahah, pasti mengandung syari>’ah. Lanjutnya, tujuan ditetapkannya hukum Islam, bukan sekedar untuk memenuhi formal legalistiknya saja, tapi lebih jauh daripada itu yakni untuk menciptakan mas}lahah bagi umat manusia.[118] Padahal yang dipahami oleh para ulama jumhur adalah sebaliknya yaitu h}ais\uma wujida al-syar’ fa tamma al-mas}lah}ah (Di mana ada hukum syara’ di sana pasti ada maslahah). Mereka para muslim liberal membidik makna mas}lahah sebab ia dapat dibawa kepada konteks sosial budaya dan akhirnya dibawa kepada doktrin humanisme. Targetnya adalah membawa hukum Islam agar sejalan dengan doktrin-doktrin kebudayaan Barat yang melulu berdasarkan prinsip-prinsip humanisme.[119]
Menurut ‘Abdul Majid al-Najjar, akar permasalahan di sini sebenarnya adalah terletak pada kesalahan kaum liberalis yang mencoba memisahkan antara tujuan dengan hukum yang menjadi washilah kepada tujuan. Mereka melihat keduanya terpisah antara satu dengan yang lain. Padahal sesungguhnya dua aspek tersebut adalah satu. Antara hukum dan tujuan hukum adalah satu ikatan yang tak terpisahkan. Apa yang diperintahkan Allah, pasti akan mendatangkan kebaikan dan apa yang dilarang oleh-Nya, jelas menimbulkan kerusakan. Mustahil Allah mensyariatkan sesuatu tanpa ada maslahahnya, meski terkadang akal kita tidak dapat menangkap dan memahami maslahah tersebut. Pada saat itulah keimanan dan keislaman kita diuji, apakah kita menerima dan melaksanakannya dengan jawaban ketaatan atau sebaliknya, yakni sami’na> wa ‘as}aina>.[120] Bila kita renungkan, logiskah Allah SWT menyuruh Nabi Ibrahim as. untuk menyembelih anak kesayangannya Ismail as.? namun dibalik itu terdapat banyak ‘ibrah tentang keikhlasan, pengorbanan, ujian keimanan, kesabaran dan hikmah-hikmah lainnya.

d.   Hermeneutika Mengesahkan Adanya “Hermeneutic Circle
   Dengan teori ma’na>-cum-maghza>, maka sadar tidak sadar, para pendukungnya akan terjebak pada satu problem besar yang disebut “hermeneutic circle”, yaitu sejenis lingkaran setan pemahaman objek-objek sejarah yang mengatakan bahwa “jika interpretasi itu sendiri juga berdasarkan interpretasi, maka lingkaran interpretasi itu tidak dapat dielakkan.”[121] Akibatnya adalah pemahaman seseorang tentang teks-teks dan kasus-kasus sejarah yang tidak akan pernah sampai, karena apabila seseorang dapat memahami konteksnya, maka konteks sejarah itu pun adalah interpretasi juga. Problem utama yang biasa dikritik oleh hermeneutika adalah ketika sebuah pemahaman melupakan pengaruh konteksnya sendiri dan mengklaim bahwa pemahamannya adalah “final” dan “pasti” dalam segala ruang dan waktu.[122] Apabila hal ini diterapkan untuk studi al-Qur’an, maka selama-lamanya al-Qur’an tidak akan pernah dapat dimengerti dan difahami karena tidak ada penafsiran yang final dan pasti.
Lebih ekstrim lagi, filsafat hermeneutika telah memasuki dataran epistemologis yang berakhir pada pemahaman sophist yang bertentangan dengan pandangan hidup Islam (Islamic weltanschauung/ worldview). Filsafat hermeneutika berujung pada kesimpulan universal bahwa “all understanding is interpretation” dan karena interpretatsi itu tergantung kepada orangnya, maka hasil pemahaman (understanding) itu pun menjadi subjektif. Dengan perkataan lain, tidak ada orang yang dapat memahami apa pun dengan secara objektif. Dalam hal ini, Imam al-Nasafi menyatakan bahwa:haqa>’iq al-asyya>’ t\a>bitah wa al-‘ilmu biha> mutah}aqqiq, khila>fan li al-sufast}a>’iyyah (semua hakikat segala perkara itu tsabit (tetap) adanya, dan pengetahuan akan dia (adalah yang) sebenarnya, bertolak belakang dengan (pendapat) kaum sophist).[123] Salah satu golongan sufast}a>’iyyah (sophist) itu adalah golongan ‘indiyyah (epistemological subjectivist) yang menganut faham bahwa tidak ada kebenaran objektif dalam ilmu; semua ilmu adalah subjektif; dan kebenaran mengenai sesuatu hanyalah semata-mata pendapat seseorang.[124] Apabila semua ini dikaitkan dengan kajian al-Qur’an, maka akibatnya tidak ada kaum Muslimin yang mempunyai pemahaman yang sama mengenai al-Qur’an, karena semua pemahaman itu tergantung pada interpretasi masing-masing. Padahal sejarah membuktikan bahwa para mufassir meski di antara mereka ada beberapa perbedaan khususnya dalam menafsirka ayat-ayat yang z}anni>, tapi pemahaman yang sama lebih mendominasi.

2.    Implikasi dalam Masalah Hukum
Adapun dampak yang akan ditimbulkan dalam masalah hukum jika hermeneutika Al-Qur’an mazhab Yogya diterapkan adalah; pertama, metode penafsiran ma’na> cum maghza> ini, hanya bisa diaplikasikan untuk ayat-ayat hukum tertentu secara ‘tebang pilih’. Ketika mereka para penggagas hermeneutika Al-Qur’an mazhab Yogya berupaya untuk menjadikan teori penafsiran ma’na> cum maghza> sebagai metode atau pendekatan dalam menafsirkan Al-Qur’an, sebenarnya, perlu diajukan pertanyaan sebagai berikut; mengapa ayat-ayat yang mereka tafsirkan terbatas pada ayat-ayat tertentu saja, seperti ayat-ayat yang berbicara tentang pluralisme, gender, perbudakan, warisan, poligami, hudud, qisas, rajam, kepemimpinan dan ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah sosial lainnya? Padahal, Al-Qur’an sejatinya tidak hanya mengandung ayat-ayat yang berbicara tentang hukum-hukum tersebut. Di dalamnya terdapat ayat-ayat yang berbicara tentang aqidah, hukum amaliyah (ibadah dan muamalah), akhlak, juga ayat-ayat yang menceritakan kisah dan sejarah para Nabi dan Rasul serta para umat terdahulu, ayat-ayat tentang saintifik, ayat-ayat tentang fenomena alam semesta dan lain sebagainya. Jika dicermati lebih jauh, ayat-ayat yang mereka tafsirkan tersebut, terkait erat dengan upaya liberalisasi syari’at Islam yang dikampanyekan oleh Barat belakangan ini.
Kedua, Jika metode ma’na> cum maghza> diterapkan, maka akan mendekonstruksi hukum-hukum Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an. Dengan dilatarbelakangi oleh asumsi bahwa Al-Qur’an merupakan respon terhadap kondisi sosial budaya Arab saat itu, sehingga sifatnya kontekstual, maka pada zaman sekarang, ia tidak dapat dipahami seperti ia turun ketika itu, karena zaman sudah mengalami perubahan dan berkembang. Konsekuensinya, ayat-ayat Al-Qur’an perlu ditafsirkan secara kontekstual. Padahal, bila diteliti lebih lanjut, ternyata tidak semua ayat Al-Qur’an diturunkan karena suatu peristiwa, kejadian, atau pertanyaan. Tetapi ada di antara ayat Al-Qur’an yang diturunkan sebagai permulaan tanpa sebab seperti ayat mengenai akidah, iman, kewajiban Islam dan syari’at Allah dalam kehidupan pribadi dan sosial. Imam al-Suyuti dan para ahli yang banyak memperhatikan asba>b al-nuzu>l mengatakan bahwa tidak semua ayat Al-Qur’an  itu turun di saat-saat terjadinya sebab khusus sebuah peristiwa.[125] Implikasi dari penafsiran kontekstual versi mereka itu, akan banyak sekali hukum-hukum dalam Al-Qur’an yang terdekonstruksi.
Di sisi lain, dengan berdalih bahwa Al-Qur’an memiliki prinsip universal yang s}a>lih li kulli zama>n wa maka>n versi mereka,[126] maka, mereka cenderung menjadikan Al-Qur’an sebagai alat untuk menjustifikasi realitas yang ada. Teks Al-Qur’an ditundukan pada kehendak waktu dan tempat, akal dan kepentingan sesaat. Mereka meletakan relitas sosial yang terhegemoni oleh worldview Barat, di atas segala-galanya, hingga di atas Al-Qur’an dan sunnah. Realitas sosial menjadi standar kebenaran. Oleh sebab itu, apapun adanya, jika tidak sesuai dengan ‘teks’ realitas[127], maka harus diubah dan direinterpretasi. Dengan demikian, ayat tentang waris yang menerangkan tentang pembagian bagi laki-laki lebih banyak dari perempuan (2:1), perlu ditafsir ulang karena realitasnya sekarang, banyak perempuan yang bekerja. Begitupula dengan kepemimpinan keluarga, karena perempuan yang berkarir, maka dialah yang berhak mengampu kepemimpinan. Poligami mesti diharamkan karena tidak sesuai dengan budaya masyarakat modern. Hukum hudud, qisas dan rajam harus dihapus karena tidak sesuai dengan standar dan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) dan nilai-nilai demokrasi dan hukum internasional. Atas nama realitas, wanita muslimah boleh nikah dengan lelaki non-muslim. Karena pluralisme adalah sebuah keniscayaan, maka semua agama adalah benar, semua pemeluk agama masuk surga. Meminum khamr dan perkawinan homoseksual atau lesbian pun dilegalkan dengan ayat Al-Qur’an dan lain sebagainya. Semua perubahan itu dilakukan dengan mengatasnamakan ‘tafsir kontekstual’ yang dianggap sejalan dengan perubahan, perkembangan dan semangat zaman.

III.   Kesimpulan dan Penutup

Setelah mengeksplorasi metode hermeneutika yang berkembang di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan merujuk ke buku Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya dan beberapa buku sejenisnya, maka dapat disimpulkan bahwa, ternyata metode hermeneutika ma’na> cum maghza>  yang mereka gagas, sejatinya merupakan teori elaborasi dari berbagai teori-teori penafsiran, seperti teori aplikasi (Anwendung) Gadamer, konsep ma’na> dan magza> Nasr Hamid Abu Zayd, teori meaning dan significance Hirch, termasuk juga konsep double movement dan legal formal-ideal moral Fazlur Rahman dan teori-teori interpretasi sejenis yang menjadikan makna asal literal sebagai pijakan awal untuk memahami pesan utama teks (signifikansi). Dari sini, nampak kiranya bahwa pada hakikatnya tidak ada hal yang baru dari teori yang mereka tawarkan. Di dalamnya belum ditemukan alternatif metodologi baru yang utuh dan komprehensif. Solusi dan tawaran mereka masih terlalu umum dan kabur, belum menampakan satu bentuk yang konkret.  Luapan-luapan kritik atas pikiran-pikiran ulama klasik justru lebih dominan. Jika memang metodologi mereka jelas, tentunya kini telah terbit “Tafsir Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya”. Hal ini menunjukan bahwa metode yang ditawarkan tidak aplikatif dan hanya bisa diterapkan secara tebang pilih.
Di samping itu, kegelisahan akademik yang melatarbelakangi para penggagas hermeneutika Al-Qur’an mazhab Yogya untuk menjadikan hermeneutika menjadi salah satu pendekatan dan mitra  dalam studi Al-Qur’an dengan memadukan tradisi berfikir keilmuan Islamic studies  dan  religious studies, melakukan pergeseran paradigma (shifting paradigm), dan melakukan reinterpretasi dengan dalih bahwa Al-Qur’an: s{a>lih li kulli zama>n wa maka>n, adalah upaya yang perlu diapresiasi. Jika tujuannya adalah untuk mengembangkan Studi Islam (khususnya Studi Qur’an) dan untuk menjawab tantangan zaman dan peradaban manusia yang sedang dan terus berubah. Namun demikian, jika metodologi pengkajiannya (approach/ framework) dan worldview yang digunakan adalah dari Barat -orientalis-, meski nampak rasional dan objektif serta sejalan dengan tuntutan keilmuan kontemporer, tapi sejatinya, secara konseptual mengandung kerancuan-kerancuan (confusions).
Dengan memperhatikan asumsi dan implikasinya, hermeneutika pada umumnya dan hermeneutika mazhab Yogya pada khususnya, tidak sesuai untuk diterapkan dalam studi Al-Qur’an. Jika ia diterapkan untuk menafsirkan Al-Qur’an, maka akan membuahkan kebingungan dan keragu-raguan. Hal ini dikarenakan ia bertolak dari skeptisisme dan relativisme, menyamakan teks Al-Qur’an sebagaimana teks-teks biasa, menghendaki ketidakpastian makna dan penafsiran yang relatif dan tentatif. Dengan metode hermeneutika ma’na> cum maghza> , di mana yang dianggap sebagai pesan utama adalah apa yang ada dibalik teks (signifikansi), maka konsekuensinya akan mendekonstruksi hukum-hukum Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an dan menjungkirbalikan struktur struktur epistemologi Islam.
Sebagai refleksi, perlu kiranya diketengahkan pernyataan Yudian Wahyudi dalam bukunya  Ushul Fikih versus Hermeneutika  yang cukup menggelitik sbb:
“Dalam rangka pertaubatan epistemologis, yaitu penyatuan kembali metafisika dan fisika dalam kurikiulum IAIN/ UIN, umat Islam suka “menggertak” dengan istilah-istilah keren yang seringkali hanya “comotisme”. Salah satu slogan “comotis” itu adalah hermeneutika pada Al-Qur’an. Di sisi lain, sejumlah professor “propogandis” hermeneutika mengeritik ushul fikih. Di sini terjadi pendangkalan ganda. Ushul fikih sebagai metode tafsir belum terpahami, tetapi sudah hendak diganti dengan ilmu “baru” (hermeneutika pen.) tetapi pinggiran. Pendangkalan ganda ini terjadi karena propogandis hermeneutika itu pada umumnya bukanlah doktor hermeneutika, apalagi doktor ushul fikih!”
Khazanah ulumul Qur’an dengan segala perangkat dan ilmu bantunya, harus diakui memiliki tingkat sofistikasi yang luar biasa. Betapa tidak, ia telah terbukti melahirkan berbagai macam khazanah tafsir. Hal ini menunjukan kekomprehensifan ulumul Qur’an dalam membantu para ulama tafsir untuk membedah luasnya samudra ilmu Allah yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Namun, karena barangkali sudah terlanjur gandrung dengan segala yang baru dan yang Barat (everything new and everything Western), maka sejumlah cendekiawan Muslim dengan tanpa rikuh menjadikan hermeneutika menjadi “manhaj tafsir alternatif”. Pun demikian, hingga saat ini, belum ada satupun produk tafsir hermeneutika (lengkap 30 juz) yang mereka kontribusikan untuk umat. Ini semua, bisa dikatakan merupakan refleksi yang sangat nyata dari sebuah “krisis identitas” yang menghinggapi sejumlah pemikir Muslim. Bak istri Aladin yang menukar lampu lama yang kusam tertutup debu dengan lampu baru yang dijajakan oleh si tukang sihir. Ingat! laisa kullu ma> yalma’u z\ahab.Walla>hu a’lamu bi al-s}awwa>b.












Daftar Pustaka

Abshar-Abdalla, Ulil (dkk.). Metodologi Studi Al-Qur’an. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009.
Abdullah, M. Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
_______________. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
_______________. Neo Ushul Fiqih Menuju Ijtihad Kontekstual. Yogyakarta: Fakultas Syari'ah Press, 2004.
Abu Zayd, Nasr Hamid. Dawa’ir al-Khawf. Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1999.
_______________. Isyka>liyya>t al-Qira>’ah wa A>liyya>t al-Ta’wi>l. Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi, 1994.
_______________. Mafhu>m al-Na>s}s}: Dira>sah fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Beirut: Markaz al-S\aqafi al-‘Arabi>, 1994.
Acikgenc,Alparslan. Islamic Science, Towards Definition. Kuala Lumpur: ISTAC, 1996.
Amal, Taufik Adnan. Fazlur Rahman dan Usaha-usaha Neo Modernisme Islam Dewasa Ini. Bandung: Mizan, 1993.
Arif, Syamsuddin. Orientalisdan Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani Press, 2008.
Armas, Adnin. Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu. Ponorogo: CIOS, 2007.
Al-Asqar, Umar Sulaiman. Nazara>t fi Us}u>l al-Fiqh. Beirut: Da>r al-Nafa>is, 1999.
Al-Attas,Syed Muhammad Naquib Prolegomena to the Metaphysic of Islam: an Exposition of the Fundamental Elelement of the Worldview of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC, 1995.
______________. The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the Aqa’id of al-Nasafi. Kuala Lumpur: Department of Publicatrions University of Malaya, 1988.
B. Saenong, Ilham. Hermeneutika Pembebasan. Jakarta: Teraju, 2002.
Daud, Wan Mohd Nor Wan. The Education Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization. Kuala Lumpur: ISTAC, 1998.
Engineer, Asghar Ali. Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Faiz, Fahruddin. Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005.
Hanafi, Hasan. Hermeneutika Al-Qur’an? terj. Yudian Wahyudi. Yogyakarta: Pesantren Nawesea, 2010.
Huda, Lalu Nurul Bayanil. Kritik Studi Al-Qur’an Nasr Hamid Abu Zayd. Ponorogo: CIOS, 2010
Husaini, Adian dan al-Baghdadi, Abdurrahman. Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press, 2007.
_____________. Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi. Jakarta: Gema Insani Press, 2006.
Ibnu Mandzur, Muhammad ibn Mukarram. Lisa>n al-‘Arab. Beirut: Da>r Sha>dr, tt..
Imarah, Muhammad. al-Tahri>r al-Isla>m li al-Mar’a>h, dalam al-Isla>m wa Huqu>q al-Mar’a>h, Kairo: Rabithah al-Jami’ah al-Islamiyyah, 2004.
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh terj. Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib. Semarang: Dina Utama, 1994.
Leaman,Oliver. An Introduction to Medieval Islamic Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press, 1985.
Al-Manawi, Muhammad Abd Rauf. Al-Taufi>q ‘ala> Muhamma>h al-Ta’a>rif Juz I, Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1990.
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. Tafsi>r al-Maraghi. Beirut: Da>r al-Fikr, tth.
Muhsin, Amina Wadud. Qur’an and Woman. Kuala Lumpur: Penerbit Fajar Bakti, 1992.
Muslih, Muhammad. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar, 2008.
Mustaqim, Abdul. Epestemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKiS, 2010.
______________. Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003.
Al-Qat}t}a>n, Manna>’ Khali<>l. Maba>his\ fi ‘Ulum al-Qur’a>n, terj. Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an oleh Mudzakir AS., Jakarta: Litera Antar Nusa, 2007.
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press, 1982.
Rasyuni, Ahmad. Naz}a>riyah al-Maqa>s}id ‘ind al-Ima>m al-Sya>t}ibi. Virginia: The Internasional of Islamic Thought and Civilization, 1997.
Riyandi, Hendar.Tafsir Emansipatoris; Arah Baru Studi Tafsir Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2005.
Salim, Fahmi Kritik terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal. Jakarta: Perspektif Kelompok Gema Insani Press, 2010.
Schoun, Fritchouf. Understanding Islam terj. DM. Matheson. London: George Allen and Umwim LTD, 1977.
Al-Shabuny, Muhammad Ali. Al-Mawa>ris\ fi> al-Syari>'ah al-Isla>miyyah fi D}awi al-Kita>b wa al-Sunnah. Damaskus: Dar al-Qalam, 1993.
Syahrur, Muhammad. Al-Kita>b wa Al-Qur’a>n: Qira>’ah Mu’a>s}irah. Damaskus: Aha>li li an-Nasyr wa at-Tawzi>’, 1992.
Syamsuddin, Sahiron (dkk.). Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya. Yogyakarta: Islamika, 2003.
_____________. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009.
_____________. “Tipologi dan Proyeksi Penafsiran Kontemporer terhadap Al-Qur’an”, Al-Qur’an dan Hadis, vol. 8., No. 2, Juli 2007.
Ath-Thabary, Abu Ja’far. Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n, Juz 7. t.k.p.: Muassasah ar-Risalah, tt.
Wijaya, Aksin. Arah Baru Studi Ulumu Al-Qur’an: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Wahyudi, Yudian. Ushul Fikih versus Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan Amerika. Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2006.
Zarkasy, Hamid Fahmy. Peradaban Islam: Makna dan Strategi Pembangunannya. Ponorogo: CIOS, 2010.
_____________. Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis. Ponorogo: CIOS, 2008.



* Peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) Angkatan V, Kerjasama Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor dengan Majlis Ulama Indonesia (MUI).
[1] Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulumu Al-Qur’an: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2009), h. 175.
[2] M. Amin Abdullah dalam kata pengantar buku, Sahiron Syamsuddin (dkk.), Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya (Yogyakarta: Islamika, 2003), h. xxiii.
[3] M. Zainal Abidin, “Ketika Hermeneutika Menggantikan Tafsir Al-Qur’an” dalam Republika, 24 Juni 2005.
[4] Sahiron Syamsuddin (dkk.), Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya, h. xv.
[5] Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 3.
[6] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), h. 19-20.
[7] Ulil Abshar-Abdalla (dkk.), Metodologi Studi Al-Qur’an (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 140.
[8] Hasan Hanafi, Hermeneutika Al-Qur’an? terj. Yudian Wahyudi (Yogyakarta: Pesantren Nawesea, 2010), h. 80-81.
[9] Abdul Mustaqim, Epestemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2010), h. 55.
[10] M. Amin Abdullah, dalam kata pengantar buku, Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan (Jakarta: Teraju, 2002), h. xxv-xxvi, 10.
[11] M. Zainal Abidin, “Ketika Hermeneutika Menggantikan Tafsir Al-Qur’an” dalam Republika, 24 Juni 2005.
[12] M. Amin Abdullah dalam kata pengantar buku, Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), h. xii.
[13] Pada tanggal 14 November 2006, Litbang Departemen Agama memaparkan hasil penelitiannya tentang perkembangan paham-paham liberal di sejumlah kota besar di Indonesia. Salah satu kota yang diteliti adalah kota Yogyakarta, khususnya di lingkungan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pada bagian “Memaknai Teks Al-Qur’an dan Al-Hadis secara Liberal dan Mengutamakan Semangat Religio Etik”, dipaparkan sebagai berikut:
“Al-Qur’an bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci dari Allah swt. kepada Muhammad saw., melainkan merupakan produk budaya (muntaj s\aqafi>) sebagaimana yang digulirkan oleh Nasr Hamid Abu Zayd. Metode tafsir yang digunakan adalah hermeneutika, karena metode tafsir konvensional dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman. Amin Abdullah mengatakan bahwa sebagian tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini dianggap telah melanggengkan status quo dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya. Hermeneutika kini sudah menjadi kurikulum resmi di UIN/ IAIN/ STAIN seluruh Indonesia. Bahkan, di Perguruan Tinggi Islam di Nusantara ini, hermeneutika makin digemari.”
Dalam acara workshop di Hotel Santika Yogyakarta pada bulan Ramadhan 2005, yang dihadiri oleh para dosen dari sejumlah kampus di Yogyakarta, materi yang paling pelik pembahasannya adalah materi tentang hermeneutika. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa, “Bagi IAIN Yogya (sekarang UIN), masalah hermeneutika sudah selesai. Istilahnya, “Pencarian kami sudah selesai dan ketemu dengan hermeneutika”. Ada juga yang mengatakan bahwa, “Di kampus itu, penggunaan hermeneutika untuk menafsirkan Al-Qur’an sudah menjadi harga mati”. Lihat, Adian Husaini dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani Press, 2007), h. 2., lihat pula Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), h. 134, 142.
[14] Adian Husaini dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, h. 1.
[15] Buku ini bukan satu-satunya buku yang dibahas, namun hanya sebagai pintu masuk kajian tentang hermeneutika yang berkembang di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[16] Muhammad ibn Mukarram Ibnu Mandzur, Lisa>n al-‘Arab (Beirut: Da>r Sha>dr, tt.), juz 1, h. 393.
[17] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia (Surabaya: Progressif, 1997), cet. xiv, h. 453.
[18] Hans Wehr, Arabic-English Dictionary (New York: Spoken Language Service, 1976), h. 313.
[19] Ibn Rusyd, Tarjamah milkah al-Ijtiha>d min Khila>l Bida>yah al-Mujtahi>d, juz 1, h. 433. Lihat pula, Muhammad Abd Rauf al-Manawi, Al-Taufi>q ‘ala> Muhamma>h al-Ta’a>rif (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1990), juz 1, h. 646.
[20] Wawancara dengan Abdul Mustaqim, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, di Yogyakarta tanggal 21 Januari 2012.
[21] Editor sekaligus salah satu kontributor tulisan dalam buku Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya
[22] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009), h. 25.
[23] Buku Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya ini merupakan kumpulan dari berbagai tulisan (antologi) dengan tema besar “Studi al-Qur’an dalam Berbagai Perspektif”. Antologi ini terbagi menjadi empat bab. Bab pertama, membahas tentang dimensi kesejarahan teks al-Qur’an. Bab kedua, mengkaji tentang teks dalam bingkai metodologi tafsir kontemporer. Bab ketiga,menjelaskan tentang model dan alternatif dalam membaca teks al-Qur’an. Sedangkan bab terakhir, membahas tentang pengembangan studi Al-Qur’an dan hadis di Indonesia.
[24] Sahiron Syamsuddin (dkk.), Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya, h. xix. Lihat pula, Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 93-94.
[25] Hendar Riyandi, Tafsir Emansipatoris; Arah Baru Studi Tafsir Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2005), h. 227.
[26] Kaelan MS, “Kajian Makna Al-Qur’an (Suatu Pendekatan Analitika Bahasa)” dalam Sahiron Syamsuddin (dkk.), Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya, h. 65.
[27] Hilman Latif, “Kritisisme Tekstual dan Intertekstualitas dalam Interpretasi Teks Al-Qur’an” dalam Sahiron Syamsuddin (dkk.), Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya, h. 85.
[28] Dalam upayanya mensintesakan hermeneutika dengan ilmu tafsir, menurut Sahiron Syamsuddin teori hermeneutika yang applicable adalah teori hermeneutika Gracia dan Gadamer. Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, h. 72-73, 76.
[29] Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, h. 146-148.
[30] S.M. Naquib al-Attas menjelaskan bahwa proses Islamisasi ilmu ini perlu diawali dengan pengetahuan secara mendalam atas pandangan hidup Islam dan Barat. Kemudian diikuti dengan dua proses yang saling terkait, yaitu; pertama, mengisolir unsur dan konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat. Dan kedua, memasukan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevan. Lihat, S.M. Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), h. 114., lihat pula, Wan Mohd Nor Wan Daud, The Education Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), h. 313. 
[31] Pada saat itu, para intelektual Muslim tidak hanya menerjemahkan, atau mengadopsi begitu saja tanpa reserve karya-karya Yunani. Mereka mengkaji karya tersebut, memberi komentar, memodifikasi dan mengasimilasikannya dengan ajaran Islam. lihat, Oliver Leaman, An Introduction to Medieval Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), h. 6. Lihat pula Hamid Fahmy Zarkasy, Peradaban Islam: Makna dan Strategi Pembangunannya (Ponorogo: CIOS, 2010), h. 22.
[32] Hamid Fahmy Zarkasyi dalam kata pengantar buku, Adnin Armas, Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu (Ponorogo: CIOS, 2007), h. xi.
[33] Syamsuddin Arif. “Sains di Dunia Islam: Telaah Historis Sosiologis”, Islamia, VI, Juli-September 2005, h. 86.
[34] Hamid Fahmy Zarkasyi dalam kata pengantar buku, Adnin Armas, Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu, h. xi.
[35] Hamid Fahmy Zarkasyi. “Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam”, h. 20.
[36] Alparslan Acikgenc, Islamic Science, Towards Definition (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), h. 73.
[37] Secara konseptual, hermeneutika yang diadopsi oleh para teolog Kristen yang dikembangkan oleh teolog Protestan Liberal, sangat khas dalam konteks Bibel yang bermasalah. Sebagai suatu teks, Bibel dianggap memiliki banyak author. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya teori yang menunjukan hal tersebut, sehingga metode hermeneutika sangat menekankan pada aspek historisitas dan kondisi penulis teks. Lihat, Adian Husaini. “Problem Teks Bible dan Hermeneutika”, Islamia, I, Maret 2004, h. 7-15.
[38] Hamid Fahmy Zarkasyi. “Menguak Nilai di Balik Hermeneutika”, Islamia, I, Maret 2004, h. 16-29.
[39] Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal (Jakarta: Perspektif Kelompok Gema Insani Press, 2010), h. 485-487.
[40] Adnin Armas, Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu, h. 1.
[41] Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi Al-Qur’an, h. 491.
[42] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysic of Islam: an Exposition of the Fundamental Elelement of the Worldview of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), h. 117.
[43] Yudian Wahyudi, Ushul Fikih versus Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan Amerika (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2006), h. v.
[44] Ulumul Qur’an sebagai sebuah metodologi dalam penafsiran Al-Qur’an, tidak bisa tidak harus diakui merupakan sebuah metodologi yang telah mapan selama berabad-abad, dan memiliki tingkat sofistikasi yang luar biasa. Hal ini terbukti telah menghasilkan berlimpahnya karya tafsir dengan berbagai pola dan corak, dari metode tahli>li> hingga mad}u>’i>, dari tafsir lughawi> sampai tafsir adabi> ijtima>’i> atau tafsir ‘ilmi>.  Kenyataan ini membuktikan betapa komprehensifnya ulumul Qur’an dalam menjembatani jarak antara mufasir dengan Al-Qur’an sehingga melahirkan berbagai khazanah tafsir.
[45] Menurut Amin Abdullah, ilmu-ilmu keislaman masih tetap sedia kala, padahal sejak awal pengembangannya sebagian juga terpengaruh oleh pola dan alam pikiran Yunani. Menurutnya, seolah-olah ilmu-ilmu keislaman tidak mengenal istilah shifting paradigm. Lihat, Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, h. 146. Dalam buku lain Amin menyatakan bahwa menurut telaah filsafat ilmu, hampir semua jenis kegiatan ilmu pengetahuan, baik natural science maupun social science, bahkan religious scince, selalu mengalami shifting paradigm. Kegiatan ilmu pengetahuan, menurutnya selamanya bersifat historis lantaran dibangun, dirancang, dan dirumuskan oleh akal budi manusia yang bersifat historis. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet. iv, h. 101-104.
[46] Hamim Ilyas. “Hermeneutika Al-Qur’an: Studi Tafsir Modern” Tarjih, VI, Juli 2003, h. 52.
[47] Sahiron Syamsuddin (dkk.), Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya, h. xix.
[48] Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, h. 324. Lihat pula, Mukti Ali, “Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan Agama Islam” dalam Pengantar Pengembangan Ilmu Pengetahuan Agama Islam, M. Mashur Amin (ed.), (Balai Penelitian P3M IAIN Sunan Kalijaga, 1992), h. 32. M. Arkoun,Al-Isla>m: al-Akhla>q wa al-Siya>sah, terj. Hashim Saleh (Beirut: Markaz al-Imna’ al-Qaum, 1990), h. 172-173.
[49] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar, 2008), cet. v, h. 142-143.
[50] Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, h. 101-111. Menurut Amin Abdullah, dalam Islamic Studies, aturannya juga berlaku dengan apa yang diistilahkan oleh Tomas Kuhn dengan normal science dan revolutionary science. Jika shifting paradigm dari normal science ke wilayah revolutionary science tidak memungkinkan, maka menurutnya, predikat studies dalam kajian Islam tidaklah tepat. Yang tepat menurutnya adalah Islamic Doctrine atau Islamic Dogma. Lihat, Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, h. 103.
[51] Kaelan, M.S. “Membuka Cakrawala Keilmuan” dalam kata pengantar buku Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, h. 10.
[52] Sahiron Syamsuddin (dkk.), Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya, h. xvi.
[53] M. Amin Abdullah, “Kajian Ilmu Kalam di IAIN: Menyongsong Perguliran Paradigma Keilmuan Keislaman pada Era Milenium Ketiga”, Al-Jami’ah, No. 65/ VI, 2000, h. 93.
[54] Abdul Mustaqim, Epestemologi Tafsir Kontemporer, h. 54-55. Tentang persoalan penafsiran dengan mengambil prinsip dan ide universalnya, akan dibahas pada sub bab berikutnya.
[55] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial, h. 19.
[56] Sumbangan dari hermeneutika filosofis dan kritis secara umum adalah kesadaran akan adanya berbagai determinasi yang turut menentukan sebuah proses pemahaman dari aspek wilayah, sosial, budaya, politik dan psikologis. Lihat, Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial, h. 21.
[57] F. Budi Hardiman. “Hermeneutika itu Apa?”, Basis, XL, 1991, h. 2.
[58] Ugi Suharto. “Apakah Al-Qur’an Memerlukan Hermeneutika”, Tarjih,VI, Juli 2003, h. 24.
[59] Adian Husaini. “Problem Teks Bibel dan Hermeneutika”, Islamia, I, Maret 2004, h. 7-9.
[60] Seperti ayat-ayat tentang persoalah akidah (iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasulnya, ketentuan baik buruk dan hari akhir), ayat-ayat tentang ibadah (shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, dan lain-lain), ayat-ayat tentang hukum muamalat (akad, nikah, thalaq, jual beli, hukuman, pidana, hukum hudud dan qisas, rajam terhadap pezina dll.), ayat-ayat tentang akhlak dan lain-lain.
[61] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh terj. Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib (Semarang: Dina Utama, 1994), h. 38-39.
[62] Umar Sulaiman al-Asqar, Nazara>t fi Us}u>l al-Fiqh (Beirut: Da>r al-Nafa>is, 199), h. 168.
[63] Nirwan Syafrin. “Kritik terhadap Paham Liberalisme Syari’at Islam”, Tsaqafah, vol. 4, no. 2, Maret 2009, h. 296.
[64] Pertama, aliran objektivis, yaitu aliran hermeneutika yang lebih menekankan pada pencarian makna asal dari obyek penafsiran (teks tertulis, teks diucapkan, prilaku, simbol-simbol kehidupan dll.). Jadi, penafsiran disini adalah upaya merekonstruksi apa yang dimaksud oleh pencipta teks. Di antara yang bisa digolongkan dalam aliran ini adalah Friedrich D. E. Schleirmacher dan Wiliam Dilthey. Kedua,aliran subjektivis, yakni aliran yang lebih menekankan pada peran para pembaca/ penafsir dalam pemaknaan terhadap teks. Menurutnya, pemikiran-pemikiran dalam aliran ini terbagi menjadi tiga. Ada yang sangat subjektivis, yaitu ‘dekonstruksi’ dan reader-response critism. Ada yang agak subjektivis seperti post-strukturalisme dan ada yang kurang subjektivis, yakni strukturalisme. Adapun yang ketiga adalah aliran objektivis-cum-subjektivis, yakni aliran yang memberikan keseimbangan antara pencarian makna asal teks dan peran pembaca dalam penafsiran. Yang termasuk dalam aliran ini adalah Hans Georg Gadamer dan Jorge J.E. Gracia. Lihat, Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, h. 26.
[65] Pertama, pandangan quasi-objektivis tradisionalis, yaitu suatu pandangan bahwa ajaran-ajaran Al-Qur’an harus dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada masa sekarang, sebagaimana ia dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada situasi, di mana Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dan disampaikan kepada generasi Muslim awal. Menurut Sahiron, bagi kelompok ini, esensi pesan Tuhan adalah yang tertera secara tersurat dan pesan itulah yang harus diaplikasikan di manapun dan kapanpun. Di antara yang tergolong kelompok ini, menurutnya, seperti Ikhwanul Muslimin dan kaum salafi. Kedua, pandangan quasi-objektivis modernis, yang memandang makna asal literal sebagai pijakan awal untuk memahami makna dibalik pesan literal yang merupakan pesan utama Al-Qur’an. Makna di balik pesan literal inilah yang menurut mereka harus diimplementasikan pada masa kini dan akan datang. Menurut Sahiron, contoh dari kelompok ini antara lain; Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd dan Muhammad al-Thalibi. Dan yang terakhir adalah pandangan subjektivis yang menegaskan bahwa setiap penafsiran sepenuhnya merupakan subjektivitas penafsir, sehingga kebenaran interpretatif itu bersifat relatif. Atas dasar ini, maka menurut kelompok ini, setiap generasi mempunyai hak untuk menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan perkembangan ilmu dan pengalaman pada saat Al-Qur’an ditafsirkan. Yang termasuk kelompok ini menurut Sahiron adalah Muhammad Syahrur. Lihat, Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, h. 73-76. Lihat pula, Sahiron Syamsuddin, “Tipologi dan Proyeksi Penafsiran Kontemporer terhadap Al-Qur’an”, Al-Qur’an dan Hadis, vol. 8., No. 2, Juli 2007, h. 198-200.
[66]  Menurut Sahiron, signifikansi terbagi menjadi dua yaitu; signifikansi fenomenal dan signifikansi ideal. Pertama, yang dimaksud dengan signifikansi fenomenal adalah pesan utama yang dipahami dan diaplikasikan secara kontekstual dan dinamis mulai pada masa Nabi saw. hingga saat ia ditafsirkan dalam periode tertentu. Ia terbagi menjadi dua, yaitu signifikansi fenomenal historis dan signifikansi fenomenal dinamis. Signifikansi fenomenal historis adalah pesan utama sebuah ayat atau kumpulan ayat yang dipahami dan diaplikasikan pada masa pewahyuan (masa Nabi saw). Sedangkan signifikansi fenomenal dinamis adalah pesan Al-Qur’an yang dipahami dan didefinisikan pada saat ayat atau kumpulan ayat tertentu ditafsirkan, dan setelah itu diaplikasikan dalam kehidupan. Untuk memahami signifikansi fenomenal historis, diperlukan pemahaman terhadap konteks makro dan mikro sosial keagamaan masyarakat yang hidup pada masa pewahyuan. Informasi-informasi historis yang terkandung dalam asba>b al-nuzu>l menjadi sangat penting. Sementara itu, untuk memahami signifikansi fenomenal dinamis, diperlukan pemahaman terhadap perkembangan pemikiran dan Zeitgeist (spirit masa/ zaman) pada saat penafsiran teks. Kedua, adapun yang dimaksud dengan signifikansi ideal adalah akumulasi ideal dari pemahaman-pemahaman terhadap signifikansi ayat. Akumulasi ini akan diketahui pada akhir tujuan peradaban manusia yang dikehendaki oleh Allah Swt. Di sini, dapat diketahui bahwa sesuatu yang dinamis dari penafsiran, bukan terletak pada pemaknaan teks, melainkan pada pemaknaan terhadap signifikansi (pesan utama) teks. Lihat, Sahiron Syamsuddin, “Tipologi dan Proyeksi Penafsiran…, h. 201-202.
[67] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, h. 85.
[68] Sahiron Syamsuddin, “Tipologi dan Proyeksi Penafsiran…, h. 202.
[69] Teori aplikasi (Anwendung) yang digagas oleh Gadamer adalah teori yang menegaskan bahwa setelah seorang penafsir menemukan makna yang dimaksud dari sebuah teks pada saat teks itu muncul, dia lalu melakukan pengembangan penafsiran atau reaktualisasi/ reinterpretasi dengan tetap memperhatikan kesinambungan ‘makna baru’ dengan makna asal sebuah teks. Lihat, Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, h. 85.
[70] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, h. 86-87.
[71] Adnin Armas. “Tafsir Al-Qur’an atau ‘Hermeneutika Al-Qur’an’”, Islamia, I, Maret 2004, h. 39.
[72] Adian Husaini. “Problem Teks Bible dan Hermeneutika”, Islamia, I, Maret 2004, h. 7-9.
[73] Adnin Armas. “Tafsir Al-Qur’an atau ‘Hermeneutika Al-Qur’an’”, h.39.
[74] Wan Mohd Nor Wan Daud. “Tafsir dan Ta’wil Sebagai Metode Ilmiah”, Islamia, I, Maret 2004, h. 55.
[75] Sejatinya, apa yang dikategorikan olehnya sebagai aliran quasi-objektif tradisionalis adalah para ulama klasik dan juga sebagian besar ulama Islam saat ini. Hanya segelintir saja di antara para ulama Muslim yang termasuk dalam kategoti quasi-objektif modernis ataupun subjektif, seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur dan beberapa pemikir liberal kontemporer lainnya.
[76] Nirwan Syafrin. “Syari’at Islam: antara Ketetapan nash dan Maqashid Syari’at”, Islamia, I, Maret 2004, h. 92.
[77] Ahmad Rasyuni, Naz}a>riyah al-Maqa>s}id ‘ind al-Ima>m al-Sya>t}ibi (Virginia: The Internasional of Islamic Thought and Civilization, 1997), h. 57.
[78] Amin Abdullah, Neo Ushul Fiqih Menuju Ijtihad Kontekstual (Yogyakarta: Fakultas Syari'ah Press, 2004), h. 142-143.
[79] Taufik Adnan Amal, Fazlur Rahman dan Usaha-usaha Neo Modernisme Islam Dewasa Ini (Bandung: Mizan, 1993), h. 55-56.
[80] Taufik Adnan Amal, Fazlur Rahman dan Usaha-usaha…, h. 21.
[81] Abd A'la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal, h. 71.
[82] Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London: Routledge, 2000), h. 266.
[83] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, h. 82-85.
[84] Adnin Armas, “Hermeneutika Gadamer dan Dampaknya terhadap Studi Al-Qur’an”, makalah dipresentasikan dalam diskusi sabtuan INSIST pada tanggal 11 Agustus 2007, h. 10.
[85] Adnin Armas. “Tafsir Al-Qur’an atau ‘Hermeneutika Al-Qur’an’”, h. 45.
[86] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, h. 86.
[87] Sunarwoto, “Nasr Hamid Abu Zayd dan Rekonstruksi Studi-Studi Al-Qur’an” dalam Sahiron Syamsuddin (dkk.), Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya, h. 105.
[88] Nasr Hamid Abu Zayd, Isyka>liyya>t al-Qira>’ah wa A>liyya>t al-Ta’wi>l (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi, 1994), h. 48.
[89] Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhu>m al-Na>s}s}: Dira>sah fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, h. 12-13.
[90] Lalu Nurul Bayanil Huda, Kritik Studi Al-Qur’an Nasr Hamid Abu Zayd (Ponorogo: CIOS, 2010), 1-2.
[91] Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur'an, 86
[92] Sahiron Syamsuddin, “Tipologi dan Proyeksi Penafsiran…
[93] Lihat, Isma’il ibn ‘Umar ibn Katsir, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), jilid I, h. 414.
[94] Sahiron Syamsuddin, “Tipologi dan Proyeksi Penafsiran..., h. 203-204.
[95] Sahiron Syamsuddin, “Tipologi dan Proyeksi Penafsiran..., h. 204-205. Amina Wadud mempunyai pandangan bahwa pembagian warisan bersifat fleksibel, bisa berubah sesuai realitas zaman. Menurutnya, pembagian warisan harus dilihat dari berbagai faktor, seperti keadaan orang-orang yang meninggal dan yang ditinggal. Sebelum warisan dibagi perlu dilihat seluruh anggota keluarga yang berhak, kombinasinya, dan kemanfaatannya. Lihat, Amina Wadud Muhsin, Qur’an and Woman (Kuala Lumpur: Penerbit Fajar Bakti, 1992), h. 87.
[96] Sahiron Syamsuddin, “Tipologi dan Proyeksi Penafsiran..., h. 205.
[97] Sahiron Syamsuddin, “Tipologi dan Proyeksi Penafsiran..., h. 205.
[98] Sahiron Syamsuddin, “Tipologi dan Proyeksi Penafsiran..., h. 206.
[99] Henri Shalahuddin, Al-Qur’an Dihujat (Jakarta: Al-Qalam, 2007), h. 54.
[100] Muhammad Ali as-Shabuny, Al-Mawa>ris\ fi> al-Syari>'ah al-Isla>miyyah fi D}awi al-Kita>b wa al-Sunnah, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1993) h. 18-19.
[101] Muhammad Ali as-Shabuny, Al-Mawa>ris\ fi> al-Syari>'ah al-Isla>miyyah fi D}awi al-Kita>b wa al-Sunnah, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1993) h. 18-19.
[102] Abu Ja’far Ath-Thabary, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n, Juz 7 ( t.k.p.: Muassasah ar-Risalah, tt.), h. 31.
[103] Muhammad Imarah, al-Tahri>r al-Isla>m li al-Mar’a>h, dalam al-Isla>m wa Huqu>q al-Mar’a>h, Ja’far ‘Abdu as-Salam (ed.) (Kairo: Rabithah al-Jami’ah al-Islamiyyah, 2004), h. 58-60.
[104] Hamid Fahmy Zarkasyi dalam kata Pengantar buku, Muhammad Mushlih, Bangunan Wacana Gender, (Ponorogo: CIOS, 2008), h. xiii.
[105]Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsi>r al-Maraghi,  (Beirut: Da>r al-Fikr, tth), Jilid I, Juz 3, hlm. 75.
[106] Hilman Latif, “Kritisisme Tekstual dan Intertekstualitas dalam Interpretasi Teks Al-Qur’an” dalam Sahiron Syamsuddin (dkk.), Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya, h. 83-100.
[107] Hilman Latif, “Kritisisme Tekstual dan Intertekstualitas dalam Interpretasi Teks Al-Qur’an” dalam Sahiron Syamsuddin (dkk.), Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya, h. 86-87. Pendapat yang sejenis juga dipaparkan oleh Fahruddin Faiz, ia menyatakan bahwa penyamarataan antara teks biasa dengan teks Al-Qur’an ini tidak terletak dalam status teksnya, namun lebih kepada ‘wadag teks’. Yaitu, ia adalah sebuah rentetan kalimat dalam bahasa tertentu dengan makna tertentu. Maka menurutnya, dari aspek ‘kewadegan teks’ ini, keberadaan Al-Qur’an, tidak berbeda dengan teks-teks lain. Lihat, Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial, h. 38. Begitupula dengan Sahiron Syamsuddin, ia menyatakan bahwa meski objek utama ilmu tafsir adalah Al-Qur’an dan objek utama hermeneutika adalah Bibel, akan tetapi keduanya (Al-Qur’an dan Bibel) sama-sama mengkomunikasikan pesan ilahi kepada manusia dengan bahasa manusia, sehingga dapat diteliti baik melalui hermeneutika maupun ilmu tafsir. Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, h. 72-73.
[108] Manna>’ Khali<>l Al-Qat}t}a>n, Maba>his\ fi ‘Ulum al-Qur’a>n, terj. Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an oleh Mudzakir AS. (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2007), h.
[109] Wan Mohd Nor Wan Daud, The Education Philosophy and Practice..., h. 318. 

[110] Abdul Mustaqim, Epestemologi Tafsir Kontemporer…, h. 56.
[111] M. Amin Abdullah. “Mendengarkan “kebenaran” Hermeneutika” dalam kata pengantar buku Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial, h. xviii.
[112] Ahmad Baidhowi. “Hermeneutika Tauhid Amina Wadud Muhsin”, Profetika, Vol. 6, no. 1, Januari 2004.
[113] Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi…, h. 9.
[114] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial, h. 43.
[115] Abdul Mustaqim, Epestemologi Tafsir Kontemporer…, h. 57.
[116] Syamsuddin Arif, Orientalisdan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema Insani Press, 2008), h. 202.
[117] Abdul Mustaqim, Epestemologi Tafsir Kontemporer…, h. 64.
[118] Nirwan Syafrin Arma. “Syari’at Islam; antara Ketetapan Nas dan Maqasid Syari’at”, Islamia, I, Maret 2004, h. 89.
[119] Hamid Fahmy Zarkasy, Liberalisasi Pemikiran Islam, h. 110.
[120] Nirwan Syafrin Arma. “Syari’at Islam; antara Ketetapan…, Islamia, I, Maret 2004, h. 89.97.
[121] Ugi Suharto. “Apakah Al-Qur’an Memerlukan Hermeneutika”,  h. 28.
[122] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial, h. 43.
[123] Lihat, Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the Aqa’id of al-Nasafi (Kuala Lumpur: Department of Publicatrions University of Malaya, 1988), h. 101.
[124] Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Oldest Known.,. h. 48.
[125] Manna>’ Khali<>l Al-Qat}t}a>n, Maba>his\ fi ‘Ulum al-Qur’a>n, h. 110.
[126] Sahiron Syamsuddin (dkk.), Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya, h. xvi.
[127] Arus postmodernisme menganggap segala sesuatu sebagai teks yang perlu diinterpretasi. Lihat, Hamid Fahmy Zarkasy. “Dibalik Hermeneutika”, h. 3.
Share this article :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "KRITIK ATAS METODOLOGI HERMENEUTIKA AL-QUR’AN “MAZHAB YOGYA” DALAM STUDI AL-QUR’AN"

 
Copyright © 2015 Keilmuan dan Kerohanian - All Rights Reserved - DMCA
Template By Kunci Dunia Published By Kaizen Template - Support KaizenThemes