Mohammad
Ismail*
Wacana toleransi antar umat beragama merupakan topik yang masih hangat untuk diperbincangkan. Khususnya dalam konteks budaya Indonesia yang sangat plural tentu membutuhikan pendekatan yang sedikit berbeda dengan negara-negara lain. Masalah agama bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. Masalah ini menyangkut keyakinan akan kebenaran mutlak yang ada dalam suatu agama. Islam meyakini bahwa kebenaran yang datangnya dari Allah SWT adalah kebenaran yang mutlak. Sehingga, sebagai konsekwensinya (bagi Islam) tidak ada kebenaran lain di luar Islam. Keyakinan inilah yang seringkali menjadi topik utama yang dijadikan landasaan untuk menyebarkan doktrin toleransi antar umat beragama. Jika dulu masa nabi Muhammad SAW toleransi antar umat beragama hanya menyentuh ranah sosial, kini, toleransi “dipaksa” untuk menyentuh ranah aqidah yaitu dengan meyakini kebenaran agama-agama lain. Untuk itu, penulis memandang perlu mendudukkan kembali konsep toleransi ini. Dan dalam makalah ini akan dibahas mengenai perbedaan mendasar tentang toleransi beragama dengan konsep tasamuh dalam Islam.
B.
Toleransi dan Pluralisme Agama
Istilah “Tolerance”[1]
(toleransi) adalah istilah modern, baik dari segi nama maupun kandungannya. [2]
Istilah ini pertama kali lahir di Barat, di bawah situasi dan kondisi politis,
sosial dan budayanya yang khas. Toleransi berasal dari bahasa Latin, yaitu “tolerantia”,
yang artinya kelonggaran, kelembutan hati, keringanan dan kesabaran. Dari sini
dapat dipahami bahwa toleransi merupakan sikap untuk memberikan hak sepenuhnya
kepada orang lain agar menyampaikan pendapatnya, sekalipun pendapatnya salah
dan berbeda.[3] Secara
etimologis, istilah tersebut juga dikenal dengan sangat baik di dataran Eropa,
terutama pada revolusi Perancis. Hal itu sangat terkait dengan slogan kebebasan,
persamaan dan persaudaraan yang menjadi inti revolusi di Perancis.[4]
Ketiga istilah tersebut mempunyai kedekatan etimologis dengan istilah
toleransi. Secara umum, istilah tersebut mengacu pada sikap terbuka, lapang
dada, sukarela dan kelembutan. Kevin Osborn mengatakan bahwa toleransi adalah
salah satu pondasi terpenting dalam demokrasi.[5]
Sebab, demokrasi hanya bisa berjalan ketika seseorang mampu menahan pendapatnya
dan kemudian menerima pendapat orang lain.
Menurut Harun Nasution, toleransi meliputi lima hal sebagai berikut:[6]
Pertama, Mencoba melihat
kebenaran yang ada di luar agama lain. Ini berarti, kebenaran dalam hal
keyakinan ada juga dalam
agama-agama. Hal ini justru akan membawa umat beragama ke dalam jurang
relativisme kebenaran dan pluralisme
agama. Sebab, kepercayaan bahwa kebenaran tidak hanya ada dalam satu
agama berarti merelatifkan kebenaran Tuhan yang absolut. Argumen seperti ini sebenarnya tidak baru. Hal
yang sama telah lama digaungkan oleh
John Hick dalam bukunya A Christian Theology of
Religions: The Rainbow of Faiths.[7]
Kedua, Memperkecil perbedaan yang ada di antara agama-agama. Ketiga,
Menonjolkan persamaan-persamaan yang ada dalam agama-agama. Antara poin kedua dan ketiga terdapat korelasi
dalam hal persamaan agama-agama. Namun, pada dasarnya, yang terpenting justru
bukanlah persamaannya, tapi perbedaan yang ada dalam agama-agama tersebut. Teori
evolusi Darwin misalnya, ia yakin bahwa manusia berasal dari monyet setelah
melihat banyaknya persamaan antara manusia dan kera. Akan
tetapi, Darwin lupa bahwa manusia juga memiliki perbedaan mendasar yang tidak
dimiliki monyet. Manusia memiliki akal sedangkan monyet tidak. Inilah yang
meruntuhkan teori evolusi.
Keempat, Memupuk
rasa persaudaraan se-Tuhan. Dalam hal ini, Harun Nasution terpengaruh dengan
John L. Esposito yang menganggap bahwa yang ada adalah “Islams” bukan Islam
saja.[8]
Harun juga terjebak dalam teori Schuon tentang The Transenden Unity of God.
Ia menganggap bahwa esensi Tuhan dari agama-agama adalah satu. Sedangkan
perbedaan keyakinan pada tataran eksoterik adalah merupakan interpretasi
manusia terhadap “The One”. Pandangan seperti ini tentu tidak sejalan dengan
aqidah Islam. Tuhan umat Islam bukanlah Tuhan “The One/The Real” akan
tetapi Allah SWT. Kelima, Menjauhi praktik serang-menyerang antar agama.
Tampaknya, ketika berpendapat seperti ini Harun melihat sejarah kelam
sekte-sekte agama Kristen. Sebab, dalam sejarah, Islam tidak pernah menyerang
agama-agama lain terlebih dulu. Hal ini dapat ditelusuri dalam sejarah
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dan Khulafa’ ar-Rasyidin. Di mana
agama-agama (Yahudi dan Kristen) justru mendapatkan perlindungan penuh tanpa pembantaian.
Selain
Harun Nasution, Zuhairi Misrawi juga berpendapat dalam bukunya al-Qur’an
Kitab Toleransi dengan mengatakan bahwa toleransi harus menjadi bagian
terpenting dalam lingkup intraagama dan antaragama.[9]
Lebih lanjut, ia berasumsi bahwa toleransi adalah upaya dalam memahami
agama-agama lain karena tidak bisa dipungkiri bahwa agama-agama tersebut juga
mempunyai ajaran yang sama tentang toleransi, cinta kasih dan kedamaian.[10]
Selain itu, Zuhairi memiliki kesimpulan bahwa toleransi adalah mutlak dilakukan
oleh siapa saja yang mengaku beriman, berakal dan mempunyai hati nurani. Selanjutnya,
paradigma toleransi harus dibumikan dengan melibatkan kalangan agamawan,
terutama dalam membangun toleransi antar agama.
Dari paparan di
atas dapat kita pahami bahwa istilah toleransi dalam perspektif Barat adalah sikap
menahan perasaan tanpa aksi protes apapun, baik dalam hal yang benar maupun
salah. Bahkan, ruang lingkup toleransi di Barat pun tidak terbatas. Termasuk
toleransi dalam hal beragama. Ini
menunjukkan bahwa penggunaan terminologi toleransi di Barat sarat akan nafas
pluralisme agama. Yang mana paham ini berusaha untuk melebur semua keyakinan
antar umat beragama. Tidak ada lagi pengakuan yang paling benar sendiri dan
yang lain salah. Akhirnya, semua pemeluk agama wajib meyakini bahwa kebenaran
ada dalam agama-agama lainnya, sehingga beragama tidak ada bedanya dengan
berpakaian yang bisa berganti setiap hari.
Dalam The
Golier Webster Int. Dictionary of The English Language dijelaskan bahwa konsep
“pluralisme”[11] dapat
dipahami dalam dua makna,[12]
pertama, adanya pengakuan terhadap kualitas majemuk atau toleransi
terhadap kemajemukan[13].
Artinya, toleransi yang dimaksud adalah di mana masing-masing agama, ras, suku
dan kepercayaan berpegang pada prinsip masing-masing dan menghormati prinsip
dan kepercayaan orang lain. Kedua, pluralisme berupa doktrin, yakni: a).
pengakuan terhadap kemajemukan prinsip tertinggi, b) dalam masalah kebenaran,
tidak ada jalan untuk mengatakan hanya ada satu kebenaran tunggal tentang suatu
masalah, c) berisi ancaman bahwa tidak ada pendapat yang benar, atau semua
pendapat itu sama benarnya, d) teori yang sejalan dengan relativisme dan sikap
curiga terhadap kebenaran (truth), e) dan terakhir, pandangan bahwa di
sana tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya (no
view is true, or that all view are equally true).
Dari pengertian
di atas, dapat diketahui bahwa pluralisme sebenarnya ingin mengajarkan bahwa tidak kebenaran mutlak. Sebab semua
kebenaran adalah relative. Dengan dalih toleransi ini pluralisme ingin
menghilangkan konsep kebenaran agama-agama. Tentu paham ini sangat berbahaya
bagi Islam. Sebab, ketika kebenaran dalam Islam adalah relatif, maka konsep
keTuhanan Allah SWT (tauhid) pun tidak lagi absolut.
C.
Konsep
Tasamuh Dalam
Pada dasarnya, kata toleransi
sangat sulit untuk mendapatkan padanan katanya secara tepat dalam bahasa Arab
yang menunjukkan arti toleransi dalam bahasa Inggris. Akan tetapi, kalangan Islam
mulai membincangkan topik ini dengan istilah “tasamuh”.[14]
Dalam bahasa Arab, kata “tasamuh” adalah derivasi dari “samh”
yang berarti “juud wa karam wa tasahul” [15]
dan bukan “to endure without protest”[16]
(menahan perasaan tanpa protes) yang merupakan arti asli kata-kata
“tolerance”.
Dalam Islam,
toleransi berlaku bagi semua orang, baik itu sesama umat muslim maupun
non-muslim. Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya Ghair al-Muslimin fii
al-Mujtama’ Al-Islami menyebutkan ada empat faktor utama yang meyebabkan
toleransi yang unik selalu mendominasi perilaku umat Islam terhadap non-muslim,
yaitu :[17]
1.
Keyakinan
terhadap kemuliaan manusia, apapun agamanya, kebangsaannya dan kerukunannya.[18]
2.
Perbedaan bahwa
manusia dalam agama dan keyakinan merupakan realitas yang dikehendaki Allah SWT
yang telah memberi mereka kebebasan untuk memilih iman dan kufur.[19]
3.
Seorang muslim
tidak dituntut untuk mengadili kekafiran seseorang atau menghakimi sesatnya
orang lain. Allah sajalah yang akan menghakiminya nanti.[20]
4.
Keyakinan bahwa
Allah SWT memerintahkan untuk berbuat adil dan mengajak kepada budi pekerti
mulia meskipun kepada orang musyrik. Allah juga mencela perbuatan dzalim
meskipun terhadap kafir.[21]
Secara doktrinal,
toleransi sepenuhnya diharuskan oleh Islam. Islam secara definisi adalah agama
yang damai, selamat dan menyerahkan diri. Definisi Islam yang demikian
seringkali dirumuskan dengan istilah “Islam agama rahmatan lil ‘aalamin”
(agama yang mengayomi seluruh alam). Artinya, Islam selalu menawarkan dialog
dan toleransi dalam bentuk saling menghormati bukan memaksa. Islam menyadari
bahwa keragaman umat manusia dalam beragama adalah kehendak Allah.[22]
Selain itu, Allah SWT juga mengajarkan
kepada Nabi Muhammad SAW mengenai toleransi dalam Islam sebagaimana berikut :
ö@è% @÷dr'¯»t É=»tGÅ3ø9$# (#öqs9$yès? 4n<Î) 7pyJÎ=2 ¥ä!#uqy $uZoY÷t/ ö/ä3uZ÷t/ur wr& yç7÷ètR wÎ) ©!$# wur x8Îô³èS ¾ÏmÎ/ $\«øx© wur xÏGt $uZàÒ÷èt/ $³Ò÷èt/ $\/$t/ör& `ÏiB Èbrß «!$# 4 bÎ*sù (#öq©9uqs? (#qä9qà)sù (#rßygô©$# $¯Rr'Î/ cqßJÎ=ó¡ãB ÇÏÍÈ [23]
Pada hakekatnya, pesan dari ayat ini adalah seruan Allah SWT
kepada umat manusia (Yahudi, Kristen) untuk kembali beriman kepada Allah SWT
yang pada awalnya tidak ada pertentangan. Ayat ini mengajak untuk sama-sama
menjunjung tinggi tauhid, yaitu sikap tidak menyekutukan Allah SWT dengan
selain-Nya. Jadi, ayat ini dengan jelas memberikan suatu konsep toleransi antar
umat beragama.
Adapun salah satu bentuk toleransi dalam Islam adalah
menghormati keyakinan orang lain. Islam menghormati umat Yahudi yang beribadah
di hari Sabtu dan sama halnya kepada umat Kristen yang beribadah ke gereja pada
hari Minggu. Toleransi dalam Islam pun telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad
SAW. Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari bahwa suatu ketika ada jenazah
orang Yahudi melintas di tepi nabi Muhammad SAW dan para sahabat, seketika itu
pula Nabi Muhammad SAW berhenti dan berdiri. Kemudian salah satu sahabat
berkata : Kenapa engkau berhenti Ya Rasulullah?, sedangkan itu adalah
jenazah orang Yahudi. Nabi pun berkata : Bukankah dia juga manusia?.[24]
Hadits ini menunjukkan bahwa toleransi dalam perspektif Islam berlaku
kepada semua manusia tanpa terkecuali, termasuk kepada orang yang beda agama. Namun,
yang perlu ditekankan lagi ialah bentuk kemudahan dalam bermualamah
bukan pemaksaan dalam hal keyakinan. Prinsip ini
tercermin dalam sejarah, ketika itu nabi Muhammad SAW mengutus Mu’adz dan Abu
Musa untuk pergi ke Yaman. Salah satu nasehat Nabi kepada mereka berdua ialah “mudahkanlah
dan jangan kalian mempersulit”.[25]
Berbicara mengenai tasamuh, tentu tidak cukup
dengan pengertian secara bahasa dan istilah saja. Perlu kiranya untuk menggali
juga nilai-nilai yang terkandung dalam konsep tasamuh dalam Islam. Sebab,
setiap konsep tidak dapat terlepas dari konsep dasar lainnya. Untuk itu,
berikut adalah beberapa nilai yang terkandung dalam konsep tasamuh.
a)
Al-Rahmah
Salah
satu konsep yang berkaitan erat dengan konsep tasamuh adalah konsep “al-Rahmah”.
Konsep al-Rahmah tentu bukan hal yang asing bagi umat muslim. Kata al-Rahmah
adalah bentuk derivasi dari kata “rahima”, yang berarti pengasih. Kata
ini merupakan salah satu sifat Allah SWT yaitu ar-Rahman dan ar-Rahim.
Pesan untuk berkasih sayang (Rahmah) dalam Islam dapat kita telusuri
melalui sabda Rasulullah SAW:
ارحموا من في الأرض يرحمكم من في السماء.[26]
“Berbuatlah
kasih sayang kepada siapa pun yang ada di bumi, maka kalian akan dikasihi dzat
yang di langit (Allah SWT)”
Selain
itu, Allah SWT juga telah menggambarkan dalam al-Qur’an surat al-Balad : 17, bahwa
sifat Rahmah merupakan cara yang baik dalam berdakwah selain dari pada
sifat sabar.[27]
Konsep
Rahmah (kasih) berlawanan dengan konsep kekerasan. Dalam menghubungkan Islam dengan kekerasan, Abdul
Ghaffar Khan mengidentifikasi ‘amal, yaqin, dan mahabbah (amalan,
keyakinan dan cinta) sebagai nilai atau prinsip utama Islam yang berlawanan
dengan penilaian stereotipikal terhadap Islam sebagai agama kekerasan.[28] Dalam al-Qur’an terdapat sekian banyak ayat yang memerintahkan
orang-orang beriman agar adil dan tidak melampaui hawa nafsu dalam perlakuan
mereka terhadap sesamanya. Cinta, kebaikan hati, kasih sayang, pengampunan dan
kemurahan hati diajarkan dalam Islam supaya umat Islam benar-benar beriman.
Selain
itu, konsep al-Rahmah juga sering diucapkan dalam do’a para nabi terdahulu. Misalnya, Nabi Adam as.[32],
nabi Nuh as.[33],
nabi Musa as.[34] dan
lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa tujuan Allah SWT mengutus
rasul-rasul_Nya adalah untuk menjadi rahmat serta mensyi’arkan agama yang penuh
dengan kasih sayang yaitu agama Islam.[35]
Kasih sayang Islam bukan hanya berlaku bagi umat muslim saja. Lebih dari itu,
kasih sayang yang ada dalam Islam –seperti yang telah dipraktekkan oleh nabi
Muhammad SAW- berlaku bagi seluruh alam semesta, termasuk umat kafir sekalipun.
b)
Al-Salam
Selain
konsep Rahmah, konsep lainnya yang terkait dengan konsep tasamuh adalah
konsep al-Salam (keselamatan). [36]
Hal ini tercermin dari banyak hal. Salah satunya adalah diturunkannya agama Islam
bertujuan untuk menunjukkan umat manusia jalan kebenaran dan keselamatan.
Konsep keselamatan (al-Salam) ini bisa kita temukan dalam al-Qur’an
surat al-Furqan ayat 63:
ß$t7Ïãur Ç`»uH÷q§9$# úïÏ%©!$# tbqà±ôJt n?tã ÇÚöF{$# $ZRöqyd #sÎ)ur ãNßgt6sÛ%s{ cqè=Îg»yfø9$# (#qä9$s% $VJ»n=y ÇÏÌÈ
“Dan
hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di
atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka,
mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan”.
(QS. Al-Furqan : 63)
Konsep
al-Salam telah menjadi syiar mendasar bagi agama Islam. Artinya Islam
adalah agama yang memberikan keselamatan dan rasa aman bagi pemeluknya bahkan
kepada non-muslim. Persaudaraan antara umat muslim pun telah diatur oleh Allah
SWT sehingga umat manusia tidak bisa merubah syariat yang telah ditetapkan,
meskipun itu baik untuk dirinya saja. Sebab, pada hakekatnya, Allah SWT lebih
tahu mana yang lebih baik untuk hamba_Nya. Karena keselamatan (al-Salam) adalah
tujuan mendasar dalam agama Islam, maka Allah SWT memerintahkan umat_Nya untuk berIslam
secara sempurna.[37]
Konsep
al-Salam (keselamatan) berlaku untuk semua makhluk. Kepada orang kafir
(dalam hal muamalah/peperangan), Islam lebih mengutamakan keselamatan dari pada
memeranginya. Untuk itulah, pada masa peperangan, Rasulullah SAW selalu
menawarkan keselamatan (berIslam). Al-Salam (sebagai konsep) dapat kita
temukan dalam berbagai ayat dalam al-Qur’an, baik dalam konteks peperangan atau
pun berdiri sendiri. Konsep al-Salam (dalam segala bentuk derivasinya)
telah disebutkan sebanyak 140 kali.[38]
Jumlah yang banyak tersebut tentu tidak sebanding dengan konsep al-Harb
(perang) –dalam segala bentuk derivasinya- yang disebutkan hanya sebanyak 6
kali saja.[39]
Lihat bagan berikut ini:[40]
Ini menunjukkan
bahwa agama Islam bukanlah agama yang suka perang. Islam lebih mengutamakan
keselamatan (kepada semua umatnya, termasuk kafir). Atas dasar itulah, Islam
selalu memberikan pilihan terbaik untuk umatnya melalui al-Qur’an. Akan tetapi,
umat manusialah yang menentukan sesuatu bagi dirinya sendiri. Meskipun itu
tidak baik dalam pandangan Allah SWT, manusia selalu yakin akan pilihannya
tersebut. Maka, tidak jarang orang tersesat karena memilih tanpa ilmu
pengetahuan. Jadi, sangat rasional apabila orang kafir itu dalam keadaan sesat
karena ia memilih sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang telah disyariatkan
Allah SWT melalui al-Qur’an dan nabi Muhammad SAW melalui al-Hadits.
Konsep
lain yang berhubungan dengan konsep tasamuh dalam al-Qur’an ialah konsep al-Adl
(keadilan).[41] Konsep
ini dapat kita temukan dalam QS. al-Nahl ayat 90 yang artinya :
“Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
(Q.S. al-Nahl : 90)
Dalam
ayat ini Allah SWT memerintahkan umat_Nya untuk berbuat tiga hal. Pertama,
adil. Artinya, umat Islam harus berbuat adil dalam berbagai hal. Termasuk dalam
memberikan hak-hak orang lain. Serta memberikan hak-hak orang yang berhak
menerimanya sesuai takaran masing-masing. Kedua, al-ihsan/kebaikan,
yaitu melakukan kebaikan kepada semua orang tanpa memandang status dan derajat
kemanusiaannya. Termasuk kepada orang yang berbeda keyakinan. Ketiga, menjalin
silaturrahim, artinya dalam hal bermasyarakat, Islam tidak membatasi pergaulan
hanya kepada sesama muslim. Akan tetapi, bersosial dengan non-muslim juga
dianjurkan.
Selain
kata al-Adl -dalam al-Qur’an-, konsep keadilan seringkali dibahasakan
dengan al-Qisth, yang memiliki satu arti. Konsep al-Adl telah
disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 24 kali. Artinya, keadilan memiliki peran
yang penting dalam hal bermuamalah dalam pandangan Islam. Khususnya dalam hal
hukum, konsep keadilan sangatlah dibutuhkan. Sebab, dengan keadilan inilah
suatu perkara akan diputuskan dan ini merupakan satu upaya untuk mencari
maslahat. Karena bertujuan untuk mencari maslahat, maka keadilan harus
berhubungan dengan kebaikan (al-Ihsan)[42].
Selain itu, keadilan juga berhubungan dengan konsep al-Amanah (amanah)[43].
Artinya, konsep keadilan dalam Islam tidak dapat diartikan dengan keadilan dalam
arti seimbang saja. Tetapi, keadilan dalam Islam harus mengandung nilai-nilai
kebaikan dan amanah. Amanah dalam hal ini adalah syariat yang diajarkan oleh
Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW.[44]
Jadi, ketika seorang muslim melakukan hal yang adil, ia tidak boleh lepas
dengan ukuran-ukuran kebaikan yang telah ada dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
Shalahuddin
al-Munajjad dalam al-Mujtama’ al-Islamy fii al-‘Adalah menyimpulkan
bahwa agama Islam adalah agama yang adil. Sedangkan orang yang berIslam berarti
ia telah menyerahkan dirinya untuk suatu keadilan dan kebenaran. [45]
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa keadilan merupakan salah satu landasan
terpenting dalam berIslam. Sebab, inilah yang membedakan antara agama Islam
dengan yang lainnya. Keadilan dalam agama Islam menjadi dasar dari tegaknya
syariat Islam. Konsep keadilan pun hendaknya menjadi pondasi dalam upaya
membentuk masyarakat yang Islami. Baik adil kepada diri sendiri, keluarga,
antar manusia atau pun adil kepada Allah SWT.
d)
Al-Tauhid
Dan
konsep yang paling tinggi yang berhubungan dengan konsep tasamuh ialah konsep Al-Tauhid.
Konsep inilah yang membedakan makna toleransi antara Islam dengan yang lainnya.
sebagaimana yang dikatakan oleh Ismail Raji al-Faruqi bahwa tauhid
adalah pengakuan bahwa Allah SWT adalah Tuhan semesta alam. Ini berarti bahwa
Allah SWT adalah sumber hakiki semua kebaikan, semua nilai. Apa yang kita
ketahui dengan indra adalah benar sifatnya. Kecuali jika indra kita jelas cacat
atau sakit, apa yang tampak sesuai dengan akal sehat adalah benar kecuali jika
terbukti sebaliknya. Tauhid menggariskan optimisme dalam bidang epistemologi
dan etika. Inilah yang disebut dengan toleransi sebenarnya.[46]
Tauhid
adalah kesatuan Tuhan dalam teologi muslim.[47]
Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan
waktu, sejarah manusia dan takdir.[48]
Sudah dapat dipastikan bahwa esensi peradaban Islam adalah Islam itu sendiri
dan esensi Islam adalah tauhid atau pengesahan Tuhan.[49]
Sebagai prinsip metodologi dalam esensi tauhid, toleransi adalah keyakinan
bahwa Tuhan tidak meninggalkan suatu bangsa tanpa mengirimkan pada mereka
seorang utusan dari kalangan mereka sendiri untuk mengajarkan kepada mereka
bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah SWT dan bahwa mereka wajib menyembah dan
mengabdi kepada_Nya. [50]
Untuk memperingatkan mereka terhadap kejahatan dan penyebab-penyebabnya. Dalam
hal ini, toleransi adalah kepastian bahwa semua manusia telah dikaruniai dengan
suatu “sensus communis” (naluri keberagamaan) yang memungkinkan mereka
untuk mengetahui agama yang benar, untuk mengenali kehendak Tuhan dan
perintah_Nya.
Ismail
Raji al-Faruqi menegaskan bahwa konsep tauhid adalah landasan metodologi dalam Islam.
Sebagai prinsip metodologi, tauhid terdiri dari tiga prinsip.[51]
Pertama, penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan
realitas. Artinya, prinsip ini membuka segala sesuatu dalam agama untuk
diselidiki dan dikritik. Namun, apabila hasil penyelidikan itu menyimpang dari
realitas, maka penyimpangan itu cukup untuk membatalkan kritikan tersebut. Kedua,
penolakan kontradiksi-kontradiksi hakiki. Prinsip ini merupakan esensi dari
prinsip pertama. Kontradiksi (pertentangan) antara wahyu dan akal misalnya,
jika hal ini terjadi maka Islam tidak membiarkannya begitu saja. Tapi, Islam
telah memberikan petunjuk dengan al-Qur’an untuk menyelesaikan pertentangan
tersebut. Ketiga, keterbukaan bagi bukti yang baru dan/atau yang
bertentangan. Prinsip ini bermaksud untuk menjadikan tauhid sebagai kesatuan
kebenaran yaitu keterbukaan terhadap bukti baru dan/atau yang bertentangan
untuk melindungi umat Islam.
D.
Kesimpulan
Dari paparan di
atas, dapat disimpulkan bahwa konsep toleransi beragama dalam perspektif Barat dan Islam
memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Toleransi menurut Barat adalah
menerima pendapat orang lain tanpa rasa protes apapun, baik dalam hal kebenaran atau bahkan
dalam kesalahan sekalipun. Adapun ukuran dari toleransi di Barat adalah
terwujudnya pluralisme agama. Ketika keyakinan (kebenaran) semua agama diyakini
adanya, maka itulah konsep toleransi sebenarnya dalam pandangan Barat. Berbeda
dengan pandangan Islam. Islam memiliki konsep tersendiri dalam konteks menghormati agama lain.
Lebih tepatnya, Islam tidak menggunakan terminologi “toleransi” secara khusus
tapi “tasamuh”. Konsep tasamuh pun sangat terikat dengan konsep-konsep
dasar lainnya dalam al-Qur’an. Ketika berbicara tasamuh, maka kita tidak dapat
lepas dari konsep al-Rahmah, al-Adl/al-Qisth, al-Ihsan, al-Amanah, al-Salam
dan al-Tauhid. Semua terminologi ini adalah konsep dasar yang mengikat
konsep tasamuh tersebut. Jadi, apabila Barat ingin melebur semua kebenaran
dalam agama-agama melalui konsep toleransinya (pluralisme) maka Islam justru
menguatkan konsep Tasamuh tersebut dengan mengikatnya dengan al-Tauhid.
Dengan kata lain, ketika umat Islam bertasamuh hendaknya membuat dia lebih
meyakini bahwa Allah SWT sajalah Tuhan Yang Maha Benar bukan Tuhan yang lain. Hal
ini terlihat remeh tapi justru inilah yang membedakan antara Barat dan Islam[52].
E.
Daftar
Pustaka
Abu Nimer, Mohammed, Nirkekerasan dan Bina
Damai Dalam Islam, Jakarta Timur : Pustaka Alvabet, 2010.
Dyayadi, Kamus Lengkap Islamologi, Yogyakarta : Qiyas, 2009.
Esposito, John L., Terj. Arif Maftuhin, Islam : The Straight
Path, Jakarta : PT. Dian Rakyat (Paramadina), 2010.
Al-Faruqi, Ismail Raji, Tauhid, Bandung : Pustaka, 1988.
Ferm, Vergilius, An Encyclopedia Of Religion, Ney York: The
Philosophical Library, 1945.
Ghazali,
Abd. Moqsith, Merayakan Kebebasan
Beragama: Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi, Jakarta : ICRP, 2009.
Hick, John, A Christian
Theology Of Religions: The Rainbow Of Faiths, America
: SCM, 1995.
Izutsu, Toshihiko, Relasi Tuhan dan Manusia, (Pendekatan
Semantik Terhadap al-Qur’an, Yogyakarta : 1997.
al-Muhit, Oxford Study Dictionary English-Arabic, Beirut :
Academia, 2008.
al-Mu’jam Al-Wasith, Misra : Maktabatu Al-Syuruq Al-Arabiyah,
2004.
al-Munajjad, Shalahuddin, Al-Mujtama’ Al-Islamy Fii Dzilli
Al-‘Adalah, Beirut : Dar Al-Kutub Al-Jadid, 1976.
Misrawi, Zuhairi, Al-Qur’an Kitab
Toleransi, Jakarta : Pustaka Oasis,
2007.
Osborn, Kevin, Tolerance, New York : 1993.
al-Qardhawi, Yusuf, Ghair al-Muslimin fii al-Mujtama’ Al-Islami,
Qahirah : Maktabah Al-Wahbah, 1992.
Quraisy, Umar bin Abd Al-Aziz Al-Arin, Samahah Al-Islam,
Misr : Maktabah Al-Adib, 2006.
al-Surjani, Raghib Al-Hanafi, Al-Rahmah fii Hayati
Al-Rasul, Riyadh : Mamlakah Al-Saud Al-Arabiyyah, 2009.
The New International Webster Comprehensive Dictionary Of The
English Language, Chicago : Trident Press International, 1996.
Thoha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama, Jakarta :
Perspektif, 2005.
[1]
Istilah toleransi memiliki sejarah tersendiri. Pada tahun 1948, PBB Majelis
Umum mengadopsi Pasal 18 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang
menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan
beragama, hak ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan,
baik sendiri atau dalam komunitas dengan orang lain dan dalam praktek umum atau
pribadi, untuk memanifestasikan agama atau kepercayaan dalam pengajaran, ibadah
dan ketaatan”. Meskipun tidak secara resmi mengikat secara hukum, deklarasi
tersebut telah diadopsi banyak konstitusi nasional sejak 1948. Hal ini juga
berfungsi sebagai landasan untuk semakin banyak perjanjian internasional dan
hukum nasional dan lembaga internasional, regional, nasional dan sub-nasional
untuk melindungi dan mempromosikan hak asasi manusia termasuk kebebasan
beragama. Berbeda dengan sebelumnya, pada tahun 1965, Gereja Katolik Roma
Vatikan II Konsili mengeluarkan dekrit Dignitatis Humanae[1]
(Kebebasan Beragama) yang menyatakan bahwa semua orang harus memiliki hak untuk
kebebasan beragama.
[2] Anis Malik
Thoha, Tren Pluralisme Agama, Jakarta : Perspektif, 2005, p. 212.
[3] Zuhairi
Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, Jakarta : Pustaka Oasis, 2007, p.161.
[4] Ibid.
[5] Kevin Osborn, Tolerance,
New York : 1993, p.11.
[6] Dyayadi, M.T.,
Kamus Lengkap Islamologi, Yogyakarta : Qiyas, 2009, p.614.
[7] John Hick, A Christian Theology Of
Religions: The Rainbow Of Faiths, America : SCM, 1995, p.23.
[8] John L.
Esposito, Terj. Arif Maftuhin, Islam : The Straight Path, Jakarta : PT.
Dian Rakyat (Paramadina), 2010, p.299.
[9] Zuhairi
Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, … p.159.
[10] Ibid.,
p.159.
[11] Secara
etimologis, pluralisme agama berasal dari dua kata yaitu “pluralisme”
dan “agama”. Dalam bahasa arab diterjemahkan dengan “al-ta’addudiyyah
al-diniyyah” dan dalam bahasa Inggris dikenal “religious pluralism”
yang artinya adalah koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu
waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan dan karakteristik masing-masing.
(lihat Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme … p. 11-12).
[12]The Golier
Webster Int. Dictionary Of The English Language … (Lihat juga
dalam Oxford Advanced Lear ners’ Dictionary of Current English dan Oxford
Dictionary of Philosophy).
[13] Mengenai hal ini L. Eck berkomentar bahwa pluralisme tidak
sekedar toleransi, melainkan proses pencarian pemahaman secara aktif menembus
batas-batas perbedaan (active seeking of understanding across lines of
difference). Berbeda dengan Adam Seligman, sosiolog dari Boston University
yang secara teoritis tidak membedakan konsep toleransi dan pluralisme. (lihat :
Abd. Moqsith Ghazali, Merayakan Kebebasan
Beragama: Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi, Jakarta : ICRP,
2009, p.183-184)
[14] Tasamuh adalah
tasahul (kemudahan) atau ukuran perbedaan yang dapat ditolerir. Lihat
kamus al-Muhit, Oxford Study Dictionary English-Arabic, Beirut :
Academia, 2008, p.1120.
[15] Lihat Al-Mu’jam
Al-Wasith, Misra : Maktabatu Al-Syuruq Al-Arabiyah, 2004, p. 447.
[16] Makna kata “tolerance”
lainnya adalah “the character, state, or quality of being tolerant”
(karakter, negara, atau kualitas menjadi toleran) dan indulgence or
forbearance in judging the opinions” (kesabaran dalam menilai pendapat).
Lihat The New International Webster Comprehensive Dictionary Of The English
Language, Chicago : Trident Press International, 1996, p. 1320.
[17] Yusuf
al-Qardhawi, Ghair al-Muslimin fii al-Mujtama’ Al-Islami, Qahirah :
Maktabah Al-Wahbah, 1992, p. 53-55.
[18] Lihat QS.
Al-Isra’ : 70
[19] Lihat QS.
Al-Khfi :29 dan QS. Hud : 118
[20] Lihat QS.
Al-Hajj : 68-69
[21] Lihat QS.
Al-Ma’idah : 8
[22] Lihat QS.
Yunus : 99.
[23] Artinya : “Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang)
kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan
kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia
dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain
sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka:
"Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada
Allah)". (Q.S. Ali Imran :
64)
[24] Yusuf
al-Qardhawi,Ghair al-Muslimin,… p. 54
[25] Diriwayatkan
oleh al-Bukhari, Kitab Al-Maghazi, bab ba’ts abi musa wa mu’adz ila al-yaman
qabl hajjati al-wada’, Juz. 3, p. 72 dalam kitab Umar bin Abd Al-Aziz
Al-Arin Quraisy, Samahah Al-Islam, Misr : Maktabah Al-Adib, 2006, p. 22.
[26] Diriwayatkan
oleh al-Tirmidzi, Kitab Al-Adab, bab rahmah al-walad wa taqbilihi wa
ma’aniqatihi, Juz, 4, p. 15.
[27] Dan Dia
(tidak pula) Termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk
bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. (QS. Al-Balad : 17)
[28] Mohammed Abu Nimer, Nirkekerasan dan Bina Damai
Dalam Islam, Jakarta Timur : Pustaka Alvabet, 2010,p.43-44.
[29] Umar bin Abd
Al-Aziz Al-Arin Quraisy, Samahah Al-Islam, … p.36.
[30] Raghib
Al-Hanafi Al-Surjani, Al-Rahmah fii Hayati Al-Rasul, Riyadh : Mamlakah
Al-Saud Al-Arabiyyah, 2009, p. 46.
[31] Ibid.,
p. 47.
[32] QS. Al-A’raaf
: 23
[33] QS. Huud : 47
[34] QS. Al-A’raaf
: 155
[35] QS.
Al-Anbiyaa’, 107
[36] Umar bin Abd
Al-Aziz Al-Arin Quraisy, Samahah Al-Islam, ,,,,,, p. 41.
[37] Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh
yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah : 208)
[38] Raghib
Al-Hanafi Al-Surjani, Al-Rahmah…., p. 256.
[39] Ibid.
[40] Ibid.,
p. 257.
[41] Umar bin Abd
Al-Aziz Al-Arin Quraisy, Samahah Al-Islam,… p.44.
[42] QS. Al-Nahl :
90
[43] QS. An-Nisa :
58
[44] Shalahuddin
Al-Munajjad, Al-Mujtama’ Al-Islamy Fii Dzilli Al-‘Adalah, Beirut : Dar
Al-Kutub Al-Jadid, 1976, p.17.
[45] Ibid.,
p. 20.
[46] Ismail Raji
Al-Faruqi, Tauhid, Bandung : Pustaka, 1988, p.47.
[47] Vergilius
Ferm, An Encyclopedia Of Religion, Ney York: The Philosophical Library,
1945, p. 762.
[48] Ismail Raji
Al-Faruqi, Tauhid … p. 9.
[49] Ibid., p.16.
[50] Ibid.,
p. 48-49.
[51] Ibid., p.
45-47.
[52] “…Mereka menganggapnya itu perkara yang remeh, tetapi
ia di sisi Allah (merupakan) perkara yang sangat besar.” (QS. An-Nuur: 15)
0 Komentar untuk "MENIMBANG KEMBALI KONSEP TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA"