KONSEP KEBEBASAN DALAM AL-QUR’AN



A.  Pendahuluan
Diskursus mengenai “kebebasan” dalam konteks saat ini identik dengan terminologi liberal[1] dan freedom[2]. Term liberal yang memiliki makna kebebasan bukan istilah khas Islam, melainkan trade mark yang datang dari Barat.[3] Istilah kebebasan (liberal) memang bukan barang baru. Istilah ini telah lama digaungkan sejak masa Napoleon Bonaparte dalam sebuah misinya menjelajah benua-benua di dunia.[4] Akan tetapi
, diskursus ini menjadi marak ketika diterapkan sebagai doktrin kebebasan tanpa batas apapun. Paham liberal[5] meyakini bahwa manusia mampu dan memiliki kebebasan untuk melakukan segala hal yang ia inginkan. Baik dalam beragama, bersosial, dan berekonomi. Namun, apabila ditelusuri lebih dalam, semua itu akan bermuara pada satu permasalahan utama yang sama yaitu kebebasan berpikir. Sebagai seorang muslim, dalam mengenal dan memahami doktrin kebebasan berpikir ala Barat berarti mendudukkan term tersebut dan mengkajinya dalam perspektif Islam. Sebab, jika tidak demikian maka kita akan cenderung lebih apresiatif dan permisif terhadap model pemikiran Barat.
Islam sebagai ideologi memiliki landasan berpikir yang khas. Adapun landasan kebebasan berpikir agama Islam adalah al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan sumber utama cara pandang (worldview) manusia yang memiliki nilai-nilai keTuhanan (kebenaran).[6] Dan untuk mengungkap nilai-nilai kebenaran tersebut diperlukan analisa dan pendekatan-pendekatan yang sesuai. Masalahnya, ketika kita mengkaji teks al-Qur’an dalam bentuk aslinya (berbahasa Arab), seringkali kita telah membaca dan memahaminya menurut konsep kita sendiri berdasarkan bahasa ibu yang kita miliki. Sehingga mengakibatkan perubahan pada beberapa atau bahkan semua istilah-istilah penting al-Qur’an  ke dalam istilah yang terdapat pada bahasa kita. Oleh sebab itu, kita perlu adil dalam mengkaji makna sebuah teks al-Qur’an. Untuk itu, makalah ini ingin mengkaji tentang “apa” dan “bagaimana” pendekatan semantik mampu menemukan nilai-nilai sebenarnya yang terkandung dalam teks al-Qur’an. Khususnya dalam konteks konsep kebebasan.
B.  Makna Relasional Konsep Kebebasan dalam al-Qur’an
Terminologi kebebasan dalam al-Qur’an mengandung beberapa makna. Dalam konteks bahasa Arab, kata kebebasan dapat ditelusuri dengan cara mengambil kata dasarnya yaitu harra.[7] Adapun makna terminologi kebebasan dalam bahasa Arab dapat ditelusuri melalui empat sudut pandang.[8] Pertama : Makna Perilaku (al-Ma’na al-Khuluqi) yaitu sebagaimana diketahui dalam tradisi Jahiliyyah yang disebut dengan ungkapan “menjaga adab” (al-hurratu). Kedua : Makna Secara Hukum (al-Ma’na al-Qanuni) yaitu sebagaimana yang digunakan dalam al-Qur’an  surat an-Nisa : 92 (tahriru raqabatin) dan dalam surat Ali Imran : 35. Ketiga : Makna Sosial (al-Ma’na al-Ijtima’i) yaitu sebagaimana yang digunakan oleh sebagian sejarawan “kebebasan adalah makna ampunan dari suatu pukulan”. Keempat : Makna Tasawwuf (al-Ma’na as-Sufi) yaitu sebagaimana dikatakan oleh al-Jurjani, hurriyah atau kebebasan ialah istilah yang digunakan oleh ahl al-haqiqah dengan makna keluar dari sesuatu yang bersifat kebendaan serta kekafiran. Dari pengertian tersebut kita dapat mengambil pelajaran penting yakni, pertama, dari kata dasar bahasa Arab, kata tahrir berasal dari harra-yahurru sedangkan bentuk mashdar yang asli yaitu hurriyyah. Kata ini biasa digunakan untuk melebihkan antara yang terbebas sejak lahir dan hamba yang dibebaskan. Kedua, yaitu keempat makna tersebut berlaku pada diri seseorang yang berhubungan dengan kebebasan orang lain. Dan bukan kebebasan tanpa batas. Atau yang dikenal dalam pembahasan Fiqh tentang bagaimana cara seseorang bermu’amalah dengan orang lain dengan ukuran akhlak yang berlaku. al-Raghib mengatakan bahwa dalam al-Qur’an kata “bebas” (al-hurru) memiliki dua definisi. Pertama, siapa saja yang belum terikat oleh hukum apapun[9]. Dan kedua, siapa yang belum dikuasai oleh sifat-sifat tercela dan ketamakan serta kejahatan.[10] Bagi Aristoteles, kebebasan manusia berarti kesempatan untuk memilih hal yang lebih baik atau bisa dikatakan juga dengan berkumpulnya antara aql (akal) dengan iradah (keinginan).[11] Jadi, pada dasarnya istilah kebebasan bermuara pada satu hal utama yaitu sebagai lawan kata dari penghambaan (al-‘ubudiyyah).[12]Sebagaimana dalam hadits nabi Muhammad SAW al-hurriyyah yang diartikan terbebas (mu’tiq) dari perbudakan.[13]
Islam, secara lughawi bermakna “pasrah”, tunduk kepada Tuhan (Allah) dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini, Islam tidak bebas. Tetapi, di samping Islam tunduk kepada Allah SWT, Islam juga sebenarnya membebaskan manusia dari belenggu peribadahan (‘ubudiyyah) kepada manusia atau makhluk lainnya. Maka, bisa disimpulkan bahwa Islam itu “bebas” dan “tidak bebas”.[14] Kebebasan dalam Islam merupakan kemuliaan jiwa yang mampu mensucikan niat-niatnya dari ketergantungan kepada selain Allah SWT. Adapun tujuan kebebasan adalah menjadikan manusia tersebut maju dan tinggi derajatnya (kemuliaan). Di antara kelebihan-kelebihan yang terdapat dari konsep kebebasan yaitu :[15]pertama, memanusiakan manusia dengan segala hak dan kewajibannya dan jika seseorang itu tidak berilmu maka sebenarnya ruang untuk berkeinginan dan ikhtiyar pun semakin menyempit. Kedua, kebebasan berlaku dalam konteks maslahat umum dan tidak digunakan untuk menghancurkan dasar atau dekonstruksi hukum Islam. Jadi, kebebasan tidak bersifat mutlak. Sebab, kebebasan seseorang terikat dengan kebebasan orang lain dan terikat oleh hukum Allah SWT.
Dari beberapa pengertian di atas berarti pada dasarnya kebebasan dalam Islam bermakna positif. Artinya, kebebasan merupakan suatu kondisi manusia yang tidak terikat oleh unsur-unsur keburukan. Dengan terlepas dari nilai-nilai keburukan (al-Syarr) berarti manusia berada dalam kondisi yang baik (al-Khair). Kebaikan dalam konteks ini adalah kemuliaan (al-Karam). Sebab, manusia yang mulia ialah manusia yang selalu menghambakan diri kepada Allah SWT dengan kebaikan-kebaikan. Hal ini merupakan refleksi salah satu sifat Allah SWT yaitu al-Karim (Yang Maha Mulia). Untuk menjadi manusia yang mulia, perlu adanya upaya untuk selalu berjalan dalam kebaikan. Akan tetapi ini tidak mudah. Sebab lawan kata dari kebaikan ialah keburukan (al-Syarr) yang mana sifat tersebut akan selalu mengikuti sifat yang positif tersebut (kebaikan). Oleh sebab itulah Allah SWT memerintahkan manusia untuk selalu berada dalam posisi baik dengan memerintahkan untuk selalu berikhtiyar (upaya untuk memilih yang baik atau upaya untuk bebas dari keburukan) dengan selalu berperilaku sesuai petunjuk (al-Huda) Allah SWT. Jadi, ikhtiyar adalah upaya untuk memilih yang baik sedangkan al-karam (mulia) merupakan kondisi akhir jiwa yang terbebas dari belenggu keburukan.
1.      Ikhtiyar  Sebagai Pilihan Untuk Bebas
Dari penjelasan mengenai kebebasan di atas, dapat kita tarik benang merah bahwa kebebasan merupakan proses merubah diri untuk menjadi lebih baik atau upaya untuk terlepas dari kehinaan hidup dan bukan menunjuk pada suatu kondisi manusia. Untuk itu, al-Attas menegaskan bahwa aktifitas yang disebut “kebebasan” lebih tepatnya terdapat dalam konsep ikhtiyar yang merupakan tindakan untuk terbebas dari keburukan dan bukan terletak dalam term hurriyyah yang merupakan kondisi bebas.[16] Tindakan yang dimaksud dalam ikhtiyar adalah membuat pilihan, bukan di antara banyak alternatif tetapi antara dua alternatif yaitu baik dan buruk. Karena ikhtiyar diikat dalam makna dengan konsep khayr, berarti “baik”, yang diturunkan  dari akar yang sama “khara” (khayara), pilihan yang dimaksud dengan ikhtiyar adalah pilihan atas apa yang baik, lebih baik atau terbaik di antara dua alternatif. Untuk itu, pilihan yang buruk di antara dua pilihan bukanlah ikhtiyar bahkan hal ini bukan sebuah pilihan, melainkan tindakan tidak adil (dzulm) yang dilakukan kepada diri sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat al-Asfahani yang mengatakan bahwa ikhtiyar adalah upaya memilih suatu kebaikan untuk dikerjakan dalam kehidupannya.[17]
Secara leksikal, kita dapat menelaah pendapat Ar-Raghib al-Asfahani yang mengatakan bahwa kata khayr merupakan bentuk kecintaan terhadap akal (al-aql), keadilan (al-‘adl), manfaat (al-nafa’).[18]Lebih lanjut ia membagi kebaikan (khayr) menjadi dua.[19] Pertama, al-khayr al-mutlaq (kebaikan absolut), artinya yaitu kebaikan yang disukai oleh semua manusia seperti kebaikan surga (al-jannah). Dan kedua, kebaikan yang terdapat dalam suatu benda seperti harta (al-maal) yang relatif. Istilah harta (al-maal) dalam al-Qur’an diungkapkan dengan kata yang sama yaitu khayr.[20] Artinya sifat harta sangat tergantung pada pemiliknya. Ia bisa menjadi baik dan kadang menjadi buruk, baik bagi dirinya, keluarganya dan bahkan masyarakat lainnya. Sifat harta juga sangat ditentukan oleh tujuan harta itu digunakan. Akan tetapi sifat dasar harta (al-maal) adalah kebaikan (al-thayyib) yang diturunkan Allah SWT untuk dimanfaatkan oleh manusia sesuai ketetapan_Nya bukan ketetapan manusia.
Selain itu, kata khayr juga memiliki makna relasional yang saling mengikat. Kata khayr dapat diartikan dengan kemuliaan (al-sa’adah, al-karam, al-syaraf).[21] Sebab, dengan akhlak yang baik (khairatun hisan) manusia akan mendapatkan kedudukan yang mulia di dunia dan akhirat. Dan itulah keutamaan dari seorang pribadi muslim yang seharusnya diaplikasikan dalam kehidupan. Sebagaimana dikatakan oleh Khalid ibn Janabah sebagaimana dikutip dalam Lisan al-‘Arab bahwa kebaikan (al-khayr) dari seorang perempuan ialah kemuliaan keturunan (al-karimatu al-nasab), kecantikan wajahnya (al-hasanatu al-wajh), kebaikan akhlaknya (al-hasanatu al-khulq).[22]Dalam al-Qur’an terdapat banyak sekali pesan Allah SWT yang menggambarkan pentingnya suatu kebaikan. Khayr dalam al-Qur’an diungkapkan dalam berbagai macam bentuk dan konteks bahasa yang beragam.[23] Akan tetapi semua makna khayr dalam al-Qur’an menuju pada maksud yang sama yaitu terdapatnya manfaat dalam sesuatu. Termasuk agama yang di dalamnya mengandung manfaat atau kebaikan bagi manusia.[24]
Dengan demikian, manusia harus memilih kebaikan yang terdapat dalam segala urusan dengan cara yang adil dan benar. Karena perbuatan Tuhan selalu adil (al-‘adl) dan benar (al-haqq). Manusia hendaknya tidak berbuat salah (zulm) kepada sesamanya karena Allah sendiri tidak pernah menyalahi siapa pun. Allah telah menentukan cara terbaik bagi manusia dalam menempuh kehidupan di dunia dengan cara Allah sendiri. Dan itulah kebaikan Allah sebagai bentuk bahwa Allah tidak pernah membiarkan hambanya dalam keadaan yang hina atau tercela (suu’). Ini semua adalah refleksi sifat Allah SWT yang tidak pernah melakukan kesalahan.[25]
2.      Karim Sebagai Tujuan Kebebasan Manusia
Kata karim merupakan bentuk derivasi dari kata karuma yang berarti kemuliaan. Kata ini biasa digunakan untuk menunjuk kondisi akhir derajat sesuatu. Selain kata karim, makna kemuliaan juga dimiliki oleh konsep syaraf dan izzah yang masing-masing berkonotasi dengan kata karim.[26] Adapun lawan kata dari karim ialah al-lu’am (kehinaan). Artinya, ketika sifat mulia tersebut disematkan kepada manusia maka kata tersebut menunjukkan bahwa kondisi manusia tersebut telah terlepas dari suatu kehinaan. Kehinaan bisa jadi berarti tidak adanya ilmu dalam diri seseorang tersebut selalu berbuat tercela (al-syarr). Jadi, tindakan buruk justru akan menjadikan manusia jauh dari sifat mulia (karim). Ini berarti ia belum mencapai derajat kebebasan yang sebenarnya dalam Islam. Kebebasan dalam Islam (selain dapat diartikan proses memilih kebaikan dari sesuatu), ia juga merupakan tujuan akhir manusia ketika terbebas dari kungkungan sifat-sifat yang buruk (al-sayyi’ah). Ibn Mandzur dalam Lisan al-‘Arab menyebutkan bahwa al-karim adalah turunan dari sifat Allah SWT yaitu al-karim yang berarti Yang Maha Pemilik Kebaikan yang mutlak.[27] Lebih lanjut, ia menyimpulkan bahwa al-karim merupakan kata yang mencakup unsur-unsur kebaikan (al-khair), kemuliaan (al-fadhilah), dan terpuji (al-hamd).[28]
Dalam kitab Mu’jam al-Alfadh al-Qur’an  al-Karim disebutkan bahwa dalam al-Qur’an  kata karim dengan segala bentuk turunan katanya memiliki beberapa makna.[29] Di antara makna tersebut ialah al-in’aam (Maha Pemberi Nikmat), [30] selain itu, kata tersebut juga digunakan untuk menunjuk kemuliaan al-Qur’an (kitabun karim),[31] Rasulullah,[32] rizki yang baik (rizqun karim),[33] kedudukan,[34] balasan yang besar (ajran karima),[35] sumber kebaikan (al-‘ars al-karim),[36] dan lain sebagainya. Dari semua makna tersebut dapat diketahui bahwa karim merupakan keadaan yang baik, posisi yang baik, sumber kebaikan, konsekwensi berbuat kebaikan bahkan merujuk kepada Sang Maha Pemberi Kebaikan (Allah SWT).
Pada dasarnya semua manusia (sebagai bani Adam) dilahirkan dalam keadaan suci dan telah dimuliakan oleh Allah SWT.[37] Salah satu bentuk kemuliaan manusia di antara makhluk lainnya ialah diberikannya hati (qalb) sebagai organ untuk memahami ayat-ayat Allah SWT. Akan tetapi, dalam perjalanan hidupnya manusia cenderung kalah dengan hawa nafsu dan lebih memilih jalan yang sesat (dhalal). Ketika manusia berbuat tercela di muka bumi maka sebagai konsekwensinya ialah kekufuran (kufr). Artinya ia tidak menggunakan hati (qalb) sebagaimana fungsinya yaitu untuk memikirkan dan memahami (tafakkur) ayat-ayat Allah SWT. Dengan demikian ia pun tidak memperhatikan bahwa Allah SWT telah memberikan petunjuk (huda) berupa Al-Qur’an. Berarti orang yang lebih memilih jalan kesesatan ialah orang yang mengingkari (takdhib) petunjuk Allah yang berisikan jalan kebaikan yaitu al-Qur’an. Jadi, untuk mencapai derajat kemuliaan (karim), manusia hendaknya selalu memikirkan serta memahami (tafakkur) tanda-tanda (ayah) yang telah diturunkan (tanzil) yang berupa al-Qur’an. Sebab, dengan bertafakkur itulah manusia akan bisa mencapai derajat yang mulia.
C.  Penutup
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep kebebasan dalam al-Qur’an menunjuk pada makna kemuliaan (al-karim). Sebab, kata “bebas” mengandung makna positif yaitu “kebaikan (al-khair)”. Artinya, bebas menurut al-Qur’an ialah kondisi manusia yang tidak terikat oleh unsur-unsur hawa nafsu yang cenderung mengarah kepada kesesatan (ad-dhal) atau juga kejelekan (as-suu’). Maka, dengan terlepas dari nilai-nilai negatif tersebut berarti manusia berada dalam kondisi yang baik atau bebas. Kebebasan di sini merupakan kondisi akhir manusia yang lebih tepatnya disebut dengan manusia yang mulia (al-karim). Akan tetapi, apabila manusia belum mencapai kondisi tersebut, upaya terbaik yang harus dilakukan ialah ikhtiyar atau berusaha untuk memilih yang baik dari yang buruk. Atau dapat dikatakan pula sebagai upaya untuk terbebas dari hawa nafsu. Jadi, semakin bebas seseorang (menurut pandangan al-Qur’an) maka ia semakin baik sehingga mampu mencapai derajat kemuliaan.


D.  Daftar Pustaka
Abd Al-Baqiy, Muhammad Fu’ad, Mu’jam Al-Mufahras Li Alfaz Al-Qur’an Al-Karim, Al-Qahirah : Daar al-Hadits, 1364 H.
Abdullah, Haidar, Kebebasan Seksual Dalam Islam, Penj. Muhammad Jawad, Jakarta : Zahra, 2003.
Al-‘Aqqad, Abbas Mahmud, Al-Insan Fii Al-Qur’an Al-Karim, al-Qahirah : Dar Al-Islam, 1973.
Al-‘Arabiyyah, Jumhuriyyah Misr, Al-Mu’jam Al-Wasith, al-Qahirah : Maktabah Al-Syuruq Al-Dauliyyah, 2004, Cet. 4.
Al-’umar, Taisir Khamis, Hurriyyah Al-I’tiqad Fii Dzilli Al-Islam, Beirut : Darur Al-Fikr, 1998.
Al-Abd, Muhammad, Al-Mufariqah Al-Qur’aniyyah (Dirasah Fii Binyati Ad-Dalalah), Dar Al-Fikr Al-‘Araby, 1994.
al-Ajiri, Abu Bakar, Akhlaq Ahl Al-Qur’an, Daar al-Kutub al-‘ilmiyyah, 2003.
Al-Arawi, Abdullah, Mafhum Al-Hurriyyah, Beirut : Al-Markaz Al-Tsaqafi Al-‘Araby, 19993.
Al-Asfahani, Al-Raghib, Al-Mufradat fii Gharibi Al-Qur’an, Beirut : Maktabah Nazar al-Musthafa al-Baaz.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Prolegomena To The Metaphysics Of Islam, Kuala Lumpur : Prospecta, 1995.
Al-Buthi, Muhammad Said Ramadhan, Hurriyyah Al-Insan Fii Dzilli ‘Ubudiyyatihi Lillah, Dimask : Dar Al-Fikr, 1992.
al-Nashiri, Ahmad, al- Istiqsha’, Al-Daar Al-Baidha’, 1945,  juz. 9.
Al-Zindani, Majid Bin Aziz, dkk. Mukjizat Al-Qur’an dan As-Sunnah Tentang Iptek, Jakarta : GIP, 1999.
Aminuddin, Semantik, Pengantar Studi Tentang Makna, Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2011.
Armstrong, Karen, Berperang Demi Tuhan, Jakarta : Serambi, cet. IV, 2004.
As-Sayyid, Ahmad Luthfi, Ilmu Al-Akhlaq li Aristoteles, Al-Qahirah : Al-Hai’ah Al-Misriyyah Al-‘Ammah Lii Al-Kitab, 2008.
At-Tirmidzi, Al-Hakim, Al-Amtsal Min Al-Kitab Wa As-Sunnah, Tahqiq Muhammad Al-Bajawi, Al-Qahirah : Dar An-Nahdhah.
At-Tirmidzi, Al-Hakim, Bayan Al-Farq Baina As-Sadr, Al-Qalb, Al-Fu’ad, Al-Lubb, Tahqiq Ahmad Abd Ar-Rahim As-Sayih, Al-Qahirah : Markaz Al-Kitab Li An-Nasyir,.
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami, Studi Tentang Elemen Psikologi Dari Al-Qur’an, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004..
Basyaib, Hamid, Membela Kebebasan (Percakapan Tentang Demokrasi Liberal, Jakarta : Pustaka Alvabet Dan Freedom Institute, 2006.
Berlin, Isaiah, Four Essays On Liberty,Jakarta : Pustaka Lp3es, 2004
Chomsky, Noam, Language And Mind, America : Harcourt Brace Jovanovich Publisher, 1968.
Djajasudarma, Fatimah, Semantik 1, Pemahaman Ilmu Makna,Bandung : Refika-Aditama, 2008.
_________________, Semantik 2, Pemahaman Ilmu Makna, Bandung : Refika-Aditama, 2008.
Fodor, J.A. The Psychology Of Language (An Introduction To Psycholinguistics And Generative Grammar), New York : Mcgraw-Hill Book Company, 1992.
Hawwa, Said,  Allah Subhanahu Wata’ala, Jakarta : GIP, 2005.
Hidayat, Asep Ahmad, Filsafat Bahasa (Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna Dan Tanda), Bandung : Rosda, 2009.
Husaini, Adian, dkk. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, Dan Jawabannya, Jakarta : GIP : 2006.
Ibn Athir, Muhammad Al-Jazari, An-Nihayah Fii Gharib Al-Hadith Wa Al-Atsar, Al-Qahirah : Dar Ibn Jauzy, 1421 H.
Ibn Faris, Ahmad, Mu’jam Maqayis Al-Lughah, Juz. 2, Dar Al-Fikr, 1979.
Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, Juz. 1, Dar Ihyaʼ al-Kutub al-ʻArabiyah, 1978.
Ibn Mandzur, Lisan Al-‘Arab, Al-Qahirah : Dar Al-Ma’arif, 1119.
Islambuli, Samir, ‘Ilm Allah Wa Hurriyyatu Al-Insan, Dimask : Al-Amaly Li At-Thaba’ah Wa An-Nasr, 1994.
Izutsu, Toshihiko, Ethico-Religious Concept In The Qur’an, London : Mcgill, Queen’s University Press, 1914.
_____________, Konsep-Konsep Etika Religious Dalam Al-Qur’an, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1993.
_____________, Relasi Tuhan Dan Manusia (Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an),Yogyakarta : 1997.
_____________, The Concept And Reality Of Existence, Malaysia: Islamic Book Trust, 2007.
Jumhuriyyatu Misr Al-‘Arabiyyah, Al-Mu’jam Al-Wasith, Maktabah As-Syuruq Al-Dauliyyah, 2004.



[1] Liberal adalah terbebas dari sempitnya kefanatikan atau perbudakan dari suatu otoritas seperti dalam agama, dan cenderung untuk demokrasi (The New International Webster Comprehensive Dictionary of The English Language, Chicago : Trident Press International, 1996, p. 734).
[2]Arti dasar kata freedom adalah bebas. Dalam kebudayaan Indonesia, bebas ini kadang dikonotasikan kurang tepat, diasosiaikan dengan cara hidup yang terlalu bebas, seks bebas, dan segala hal yang buruk-buruk. Ringkasnya: bebas identik dengan liar. Jadi, kebebasan disamakan dengan keliaran. Padahal, free itu bermakna positif. Kebebasan mengandaikan makhluk yang secara alamiah memiliki kemampuan untuk berpikir, merasa, dan memilih bagi dirinya sendiri.Karena itu kebebasan, jika diterjemahkan sebagai sebuah sistem pengaturan masyarakat berarti sistem yang percaya bahwa individu-individu yang ada dalam suatu masyarakat sesungguhnya bisa menggunakan kemampuan dan harkat mereka secara alamiah, serta mampu untuk memilih bagi diri mereka sendiri. (Hamid Basyaib,Membela Kebebasan: Percakapan Tentang Demokrasi Liberal, Jakarta : Freedom Institute, 2006, p. 3).
[3]Ahmad al-Nashiri berkata “Ketahuilah bahwa kebebasan yang ada saat ini (kebebasan yang dibawa oleh Barat adalah doktrin penganut bid’ah. Sebab kebebasan yang ada ini pada dasarnya akan menyingkirkan hak-hak Allah SWT, orang tua, dan hak-hak manusia lainnya. Dan ketahuilah bahwa kebebasan dalam Islam adalah kebebasan yang sesuai dengan syariat yang telah ditunjukkan Allah dalam kitab al-Qur’an dan yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW kepada ummatnya dan yang telah dijabarkan pula oleh para fuqaha’. (Ahmad al-Nashiri, al- Istiqsha’, Ttp :Al-Daar Al-Baidha’, 1945, juz. 9, p. 114-115).
[4] Kata “kebebasan” (Barat) merupakan semboyan pemerintahan Napoleon di Perancis. (Lihat Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan, Jakarta : Serambi, cet. IV, 2004, p.xi).
[5] Term liberal yang akhirnya menjadi suatu paham liberal (liberalisme) diterapkan ke dalam agama Islam melalui tiga strategi yaitu missionarisme, orientalisme dan kolonialisme. (Lihat Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, Ponorogo : CIOS, 2010, p.1-2).
[6] Said Hawwa, Allah Subhanahu Wata’ala, Jakarta : GIP, 2005, p. 57.
[7]Al-Hurru juga memiliki makna al-khalish (kemurnian) atau murni terbebas dari segala perbudakan. Bebas juga berarti al-karim (kemuliaan). al-hasan (kebaikan),  Lihat Jumhuriyyah Misr Al-‘Arabiyyah, Al-Mu’jam Al-Wasith, al-Qahirah : Maktabah Al-Syuruq Al-Dauliyyah, 2004, Cet. 4, p. 165.
[8] Abdullah Al-Arawi, Mafhum Al-Hurriyah, Al-Markaz Al-Tsaqafi fii Al-Gharb, 1993, p. 13-14.
[9] Q.S. Al-Baqarah : 178.
[10] Al-Raghib Al-Asfahani, Al-Mufradat fii Gharibi Al-Qur’an, Beirut : Maktabah Nazar al-Musthafa al-Baaz, p. 212-213.
[11] Ahmad Luthfi As-Sayyid, Ilmu Al-Akhlaq li Aristoteles, Al-Qahirah : Al-Hai’ah Al-Misriyyah Al-‘Ammah Lii Al-Kitab, 2008, p.167.
[12] Taisir Khamis Al’umar, Hurriyyah Al-I’tiqad Fii Dzilli Al-Islam, Beirut : Darur Al-Fikr, 1998, p. 33.
[13] Muhammad Al-Jazari Ibn Al-Athir, Al-Nihayah fii Gharibi Al-Hadits, Riyadh : Dar Ibn Al-Jauzy, 1421 H, p. 197.
[14]Adian Husaini, Nuim Hidaya, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, Dan Jawabannya, Jakarta : GIP : 2006,  p. 2.
[15] Lihat Taisir Khamis Al’umar, Hurriyyah Al-I’tiqad …., p. 52-54.

[16] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena To The Metaphysics Of Islam, Kuala Lumpur : Prospecta, 1995, p. 33.
[17] Al-Raghib Al-Asfahani, Al-Mufradat Fi Gharib Al-Qur’an,.... p. 214.
[18] Ibid., p. 212.
[19] Ibid, p. 213.
[20] Lihat Q.S. Al-Baqarah : 180 dan Q.S. Al-Mu’minun : 55, 56.
[21] Jumhuriyyatu Misr Al-‘Arabiyyah, Al-Mu’jam Al-Wasith, Maktabah As-Syuruq Al-Dauliyyah, 2004, p. 264.
[22] Ibn Mandzur, Lisan Al-‘Arab, Al-Qahirah : Dar Al-Ma’arif, 1119, p. 1298.
[23] Lihat Q.S. Al-baqarah : 54, Q.S. Ali Imran : 19, 149, Q.S. Al-Taghabun : 16.
[24] Mu’jam Alfadh Al-Qur’an Al-Karim, Misr : Jumhuriyyatu Misr Al-‘Arabiyyah, 1989, p. 388.
[25] “Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah dan aku sekali-kali tidak Menganiaya hamba-hamba-Ku.” (Q.S. Qaaf : 29).
[26] Jumhuriyyatu Misr Al-‘Arabiyyah, Al-Mu’jam Al-Wasith, ..... p. 784 .
[27] Ibn Mandzur, Lisan al-‘Arab, ..... p. 3861.
[28] Ibid.
[29] Lihat Mu’jam Alfadh Al-Qur’an Al-Karim, .... p. 962-963.
[30] Lihat Q.S. Ar-Rahman : 27, 78.
[31] Lihat Q.S. An-Naml : 29.
[32] Lihat Q.S. Ad-Dukhan : 17, at-takwir : 19.
[33] Lihat Q.S. Al-anfaal : 4, al-Hajj : 50, an-Nur : 26, as-Saba’ : 4.
[34] Lihat Q.S. As-Syu’ara : 58, al-Dukhan : 26.
[35] Lihat Q.S. Al-Ahzab : 44.
[36] Lihat Q.S. Al-Mu’minun : 116.
[37] Lihat Q.S. Al-Isra’ : 70.
Share this article :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "KONSEP KEBEBASAN DALAM AL-QUR’AN"

 
Copyright © 2015 Keilmuan dan Kerohanian - All Rights Reserved - DMCA
Template By Kunci Dunia Published By Kaizen Template - Support KaizenThemes