Oleh:
Ismail Setiawan[1]
Epistemologi[2] yang
merupakan teori mengenai ilmu pengetahuan adalah inti-sentral setiap pandangan
dunia (worldview). Dualisme
epistemologi mencoba untuk menjelaskan sifat dan ruang lingkup pengetahuan dan keyakinan rasional yang dipengaruhi
oleh konsepsi saitifik Barat modern
tentang memahami dunia yang dibatasi pada dunia indera dan pengalaman indera.[3]
Disamping itu juga, dualisme epistemologi
Barat modern berangkat dari praduga atau
prasangka serta dilatarbelakangi oleh usaha-usaha skeptis tanpa didasarkan
wahyu[4].
Jika
epistemologi dari peradaban Barat yang telah menjadi cara pemikiran dan
penyelidikan (mode of thought and inquiry) dominan dewasa ini, kemudian
dijadikan rujukan untuk digunakan memahami Islam maka hasilnya akan mengalami
kerancuan (confusion). Sehingga pada akhirnya ilmu yang dapat merusak
tatanan moral dan etika khususnya spiritual umat manusia. Karena begitu
dominannya epistemologi Barat ini, masyarakat muslim dan masyarakat-masyarakat
di bumi ini seluruhnya dibentuk menurut image
manusia Barat.
Rene Descartes yang dinobatkan sebagai Bapak filsafat
modern adalah orang pertama yang memformulasikan dualisme epistemologi
sains modern. Baginya yang real
itu adalah akal sebagai substansi yang berfikir (substance that think)
dan materi sebagai substansi yang menempati ruang (extended substance)
sehingga kemudian
mengarakterisasikan pada penekanan adanya
perbedaan antara subjek dan yang di objek, yakni antara
pengamat dan dunia luar (yang diamati) sebagai realitas yang hanya dapat
diketahui melalui observasi dan penalaran[5].
Selain itu, struktur dualisme[6]
epistemologi Barat modern telah melepaskan dirinya dari teologi, yang
melepaskan fisika dari metafisika. Immanuel Kant, filosof Jerman berperan
penting dalam menghilangkan aspek metafisika sebagai sumber epistemologi karena
menurutnya tidak dapat dicerna oleh panca indera. Teologi yang ditinggalkan itu
kemudian digantikan oleh antropologi, sehingga kesimpulannya pun menjadi aneh
sebagaimana menurut Feurbach bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia.
Hal ini pun dilanjutkan oleh Nietzche yang menganggap Tuhan merupakan hasil
khayalan dalam jiwa dan pikiran manusia. Oleh karena itu sains di Barat adalah
jauh dari nilai ketuhanan (Godless) atau atheis. Para cendikiawan Barat
seperti halnya Karl Marx, Charles R. Darwin, Auguste Comte, Emil Durkheim,
Herbert Spencer, Sigmund Frued, Friederich Nietzche bukanlah tokoh teolog
melainkan sebagai tokoh atheis. Pada akhirnya epistemologi mereka mereka tidak
mengandung teologi.[7]
Hal ini tentunya sangatlah bertolak belakang dengan tokoh ulama dalam Islam
yang ilmunya justru semakin mendekatkan dirinya dengan Tuhannya. Dualisme
epistemologi Barat modern dengan pendekatan yang dikotomis, akhirnya
berimplikasi pada Godless, confusion,
meanigless.
Sedangkan
dalam Islam sendiri tidak mengakui dualisme yang mendikotomikan ilmu
antara sakral dan profan.[8] Pandangan–dunia Islam
meliputi al-dunya dan al-akhirah, aspek–dunya harus
terhubung secara mendalam dan tak terpisahkan dengan aspek-akhirat, yang
dimana aspek akhirat memiliki nilai mendasar (ultimate). Maka
dalam makalah ini pertama, akan dilakukan kajian terhadap epistemologi Barat modern
yang dualisme. Selanjutnya dari pembahasan dualisme epistemologi dilanjuktkan
analisis dan kritik yang memadai terhadapnya berdasarkan pendapat para ilmuan
dan cendikiawan yang otoritatif dalam bidangnya.
A.
Kajian Epistemologi
Dalam beberapa
kamus filsafat,
umumnya epistemologi dipandang sebagi teori mengenai pengetahuan (the
theory of kenowledge). Terdapat empat
persoalan pokok dalam bidang epistemologi yaitu: Apa pengetahuan itu? Apa
sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang
dan bagaimana kita menngetahuinya? Apakah pengetahuan itu benar (valid)?. Jadi,
epistemologi merupakan bagian dari kajian filsafat yang spesialisasi membidangi
kajian mengenai segala hal yang terkait dengan ilmu pengetahuan, seperti
tabiat, landasan, sifat, jenisnya, asal mula, objek, struktur, cara, proses,
ukuran atau validitas ilmu[11].
B.
Dualisme Epistemologi Barat Modern
Untuk mengetahui lebih jelas asal-usul tentang dualisme, perlu kiranya
penulis mengenalkan pengertiannya secara etimologi. Didalam Oxford Dictionary,
dualisme secara filosofis didefinisikan sebagai pandangan atau sistem pemikiran
yang menganggap wilayah realitas dalam dua hal prinsip yang independen sehingga realitas itu terdiri atas dua substansi yang
berlainan, yang satu tidak dapat dimasukkan dalam yang lain.[12]
Di satu sisi, dualisme dapat diartikan sebagai “Mind-body dualism is the
doctrine that human persons are not made out of ordinary matter, at least not
entirely ”[13].
Istilah dualisme ternyata sudah diperkenalkan sejak tahun (1700 M) oleh
Thomas Hyde dipakai untuk menunjuk kepada konflik baik-jahat antara Ormazd
dan Ahriman dalam Zoroastrianisme yakni sebuah agama
dan ajaran filosofi
yang didasari oleh ajaran Zarathustra
yang dalam bahasa Yunani
disebut Zoroaster
(abad ke-7 SM). Dalam agama Zoaraster, kebaikan selalu dinisbatkan kepada Ahura Mazda atau
Ohrmazd sedangkan kejahatan disifatkan kepada Ahura Mainyu atau Ahriman[14].
Kemudian oleh Christian Wolff sebagai orang pertama yang menerapkan kata ini
untuk menunjukkan oposisi metafisis pikiran dan materi akan tetapi wujud materi
dan jiwa tepisah. Menurutnya, “The dualists (dualistae) are those who admin the
existence of both material substances” [15].
Istilah ini semenjak itu diterapkan pada banyak oposisi dalam agama,
metafisika, dan epistemologi.
Namun, dualisme yang sempurna dalam
pemikiran Descartes. Ia membedakan antara res cogitans[16] dan
res extensa[17].
Teorinya ini dikenal dengan Cartesian dualism, tujuannya agar
fakta-fakta didunia materi (fisika) dapat dijelaskan secara matematis geometris
dan mekanis. Dualisme Cartesian dikemudian hari menimbulkan problem yang
mendasar, dengan cogito dia mengandaikan bahwa pikiran atau kesadaran
itu melukiskan kenyataan diluar kesadaran dan dengan cara menyadari kesadaran
kita (refleksi diri). Masalah yang timbul bahwa lukisan belum tentu menampilkan
kenyataannya karena jurang pemisahan antara jiwa dan tubuh.
Selanjutnya Kant dalam The critique of pure reason mengkritik
Descartes, ia membuat sendiri revolusi filsafatnya yang disebut sebagai oposisi
pikiran dan materi kemudian dia keluarkan dari metafisika serta dimasukkan
kedalam epistemologi[18].
Yaitu membedakan oposisi atau dualisme antara unsur formal dan material,
transendental dan empiris, analitik dan sintetik dalam pengalaman. Kemudian
Kant mendasarkan dualisme epistemologinya dengan putusan-putusan a priori
synthetic[19].
Walaupun demikian, Cartesianisme dan Kantianisme adalah filsafat yang mencoba
merenovasi doktrin dualisme. Akan tetapi tetap terjebak pada dualisme yang
lain.
Sementara
itu, dualisme pada umumnya berbeda dengan monisme, yakni mempertahankan perbedaan-perbedaan mendasar
yang ada dalam realitas antara eksistensi yang kontingen dan eksistensi yang
absolut (dunia dan Allah), antara yang mengetahui dan yang ada dalam
kemungkinan, antara materi dan roh, antara substansi dan aksiden, dan
sebagainya.
a.
Konsep Ilmu
Dari pemahaman diatas, sangatlah tampak bahwa definisi
ilmu dari sudut pandang Barat yang hanya membatasi dirinya pada pengalaman
empiris dan rasio sebagai asas dasar pengetahuan ilmiah akan kehilangan jati
dirinya dari hakikat kebenaran.
b.
Struktur Dualisme Epistemologi Barat
sebagai Sumber dan Metode Perolehan Ilmu Pengetahuan
Salah satu pembahasan yang berkaitan dengan masalah epistemologi adalah
“sumber-sumber ilmu pengetahuan. Dalam epistimilogi Barat dikenal dengan enam jenis epistimologi, yaitu : 1. Rasionalisme, 2.
Empirisme, 3. Kritisisme, 4. Materialisme, 5. Positivisme yang akan dijelaskan lebih lanjut di
bawah ini.
Rasionalisme
adalah paham filsafat yang menyatakan bahwa akal (reason) adalah alat
terpenting untuk memperoleh pengetahuan. Menurut aliran rasionalitas, suatu
pengetahuan diperoleh dengn cara berpikir. Selain itu, tidak ada sumber
kebenaran yang hakiki. Zaman rasionalisme
berlangsung dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke-XVIII.
Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indera
dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman indera
digunakan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan
akal dapat bekerja. Akan tetapi, akal juga dapat menghasilkan pengetahuan yang
tidak didasarkan bahan indera sama sekali.
Awal dari
struktur geneologi epistemologi Barat modern yakni berawal dari filsafat
pemikiran Rene Descartes (1596-1650). Sejarah Barat sendiri menganugerahkannya
gelar sebagai Bapak filsafat modern. Ia adalah filosof pertama yang kerangka
pemikirannya dipengaruhi oleh fisika, astronomi, matematika,[21] dan menolak
segala tradisi skolastik dan juga tidak menerima fondasi dari para pendahulunya[22]. Descartes yang
memformulasi prinsip, aku berpikir maka
aku ada (cotigo ergo sum[23])
yang telah menjadikan rasio sebagai satu-satunya kriteria (rasionalisme) yang
digunakan untuk mengukur kebenaran.
Menurut F. Budi Hardiman, pandangan antropologis Descartes disebut dengan dualisme,
yaitu menganggap bahwa jiwa dan badan adalah dua realitas yang terpisah.[24] Descrates
mengemukakan metode baru, yaitu metode keragu-raguan. Jika orang ragu-ragu
terhadap segala sesuatu, dalam keragu-raguan itu, jelas ia sedang berpikir.
Sebab, yang sedang berpikir itu tentu ada dan jelas terang benderang.
Prinsip-prinsip itu kemudian oleh Descrates, dikenalkan dengan istilah
substansi, yang tak lain adalah ide bawaan (innate ideas) yang sudah ada
dalam jiwa sebagai kebenaran yang clear and dinstinct, tidak bisa diragukan lagi.
Dalam Islam sendiri menurut Al-Attas, tidak
ada bukti bahwa keraguan sebagai sumber
epistemologi,
yang bagi kaum rasionalis dan sekularis merupakan metode epistemologi yang bisa
mengantarkan kepada kebenaran. Sebenarnya, yang bisa mengantarkan kepada
kebenaran adalah hidayah Allah, bukan keraguan. Keraguan, baik yang bersifat
pasti maupun sementara hanya membawa kepada dugaan atau kepada posisi ketidak
pastian yang lainnya dan tidak pernah mengantarkan
kepada
kebenaran. Sebagaimana Allah berfirman “sesungguhnya dugaan itu tidak
sedikit berguna untuk mencapai kebenaran” (QS 10: 36).[25]
Adapun empirisme berasal dari kata Yunani "empiris" yang berarti
pengalaman inderawi baik pengalaman lahiriyah yang menyangkut dunia maupun
pengalaman batiniyah yang menyangkut pribadi manusia. Aliran ini
muncul di Inggris yang awalnya dipelopori oleh Fransis Bacon. Empirisme adalah
aliran yang
menjadikan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Aliran ini beranggapan bahwa
pengatahuan diperoleh melalui pengalaman dengan cara (observasi/penginderaan)
Kelemahan dari aliran ini adalah keterbatasan indera
manusia sehingga muncullah aliran Rasionalisme. Adapun akan dijelaskan mengenai
tokoh-tokoh yang menganut aliran ini beserta pendapat-pendapatnya.
Thomas Hobbes
(1588-1676 M.) Sebagaimana umumnya penganut empirisme, yang dikenal sebagai perintis
materialisme modern beranggapan bahwa pengalaman merupakan permulaan
segala pengenalan. Secara umum, pandangannya lebih
diilhami galileo daripada Bacon[26].
Meskipun Hobbes berusaha menghancurkan metafisika tradisional, dia secara
ironis masih bermetafisika[27]. Ia mengaggap pengenalan intelektual tidak lain dari
semacam perhitungan, yaitu penggabungan
data-data inderawi yang sama dengan cara berlainan. Disini Hobbes ingin menegaskan bahwa konsep-konsep spiritual tidak
relevan bagi filsafat, sebab tidak terdapat dalam pengalaman. Berdasarkan
asumsi itu, Hobbes berpendapat bahwa pengetahuan harus didasarkan pada pengalaman
dan observasi[28].
John Locke
(1632-1704 M) salah seorang penganut empirisme, minatnya pada filsafat karena jasa
Descartes. Pemikirannya banyak dipengaruhi ahli ilmu alam Boyle[29].
Tokoh yang juga sebagai "Bapak Empirisme" mengatakan bahwa pada waktu
manusia dilahirkan, keadaan akalnya masih bersih, ibarat kertas yang kosong
yang belum tertuliskan apapun (tabularasa). Pengetahuan baru muncul ketika indera
manusia menimba pengalaman dengan cara melihat dan mengamati berbagai kejadian
dalam kehidupan. Kertas tersebut mulai tertuliskan berbagai pengalaman inderawi.
Dalam hal ini Lock membedakan antara idea dan kualitas.
Jika yang dimaksud dengan idea adalah pengalaman dan juga penegrtian-pengertian
yang kita tarik dari pengalaman, yang dimaksud dengan kualitas adalah
kekuatan-kekuatan pada objek untuk menghasilkan idea-idea dalam diri kita[30].
Serta seluruh sisa pengetahuan diperoleh dengan jalan menggunakan serta
memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang
pertama dan sederhana. Menurutnya
ada dua pengalaman :lahiriyah (sensation) dan batiniyah (reflextion).
Kedua sumber pengalaman ini menghasilkan ide-ide tunggal (simple
ideas).
Selanjutnya, dia juga mengakui bahwa dalam dunia luar ada subtansi-subtansi,
tetapi kita hanya mengenal ciri-cirinya saja. Inilah yang kemudian dikenal
dengan subtansi material.
Menurut para penulis sejarah filsafat empirisme berpuncak pada David Hume (1711-1776
M) sebab ia mengunakan prinsip-prinsip
empiristis dengan cara yang paling radikal, yang dikenal sebagai skeptisis
mutlak terutama pengertian subtansi dan kausalitas (hubungan sebab akibat) yang
menjadi objek kritiknya[31]. Ia tidak menerima subtansi, sebab yang dialami ialah
kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu terdapat bersama-sama
(misalnya : putih,licin, berat, dsb) akan tetapi, atas dasar pengalaman tidak
dapat disimpulkan bahwa dibelakang ciri-ciri itu masih ada suatu subtansi tetap
(misalnya : sehelai kertas yang mempunyai cir-ciri tadi). Tokoh ini meragukan
kebenaran metafisika sebagai epistemologi, ia memandang metafisika sangat kabur, tidak pasti dan
melebih-lebihkan kemampuann akal manusia. Di samping itu metafisika juga
tercampur dengan dogma Katolik, karena itu Hume ingin membersihkan filsafat
dari simbol-simbol religius dan metafisis[32].
Akhirnya Hume menganggap bahwa tidak ada pengetahuan yang pasti.
Immanuel Kant (1724-1804) Penggagas Kritisisme (aliran yang kritis) memandang rasionalisme dan
empirisme senantiasa berat sebelah dalam menilai akal dan pengalaman sebagai
sumber pengetahuan. Ia mengatakan bahwa pengenalan manusia merupakan sintesis
antara unsur-unsur apriori dan unsur-unsur aposteriori. Dengan kritisme yang
diciptakan oleh Immanuel Kant, hubungan antara rasio dan pengalaman menjadi
harmonis, sehingga pengetahuan yang benar bukan hanya apriorinya, tetapi juga
aposteriori, bukan hanya para rasio, melainkan juga pada hasil inderawi. Immanuel
Kant memastikan adanya pengetahun yang benar-benar
“pasti”, artinya menolak aliran skeptisisme yang menyatakan tidak ada
pengetahun yang pasti.
Menurut Juhaya
S. Pradja (2003:
76) kritisisme adalah gagasan Immanuel Kant tentang teori pertanyaan-pertanyaan
mendasar yang timbul pada pikiran Immanuel Kant. Pernyataan-pernyataan tersebut
adalah : (1) apa yang dapat saya ketahui ? (2) apa yang harus saya ketahui; (3)
apa yang boleh saya harapkan. Kritisisme memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada
objek 2. Penegasan tentang keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk
mengetahui realitas atau hakikat sesuatu, rasio hanya mampu menjangkau
gejalanya; 3. Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas
sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara peranan unsur a priori yang
berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dari peranan unsur a posteriori yang berasal
dari pengalaman yang berupa materi[33]. Lebih jelasnya
dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Jenis Putusan
|
Definisi
|
Contoh
|
Putusan Analitis
|
Predikat adalah analisis
subjek
belaka (a priori)
|
Segitiga sama sisi adalah segitiga
|
Putusan Sintetis
(a posteriori)
|
Predikat adalah informasi
baru
(a posteriori)
|
Semua benda itu adalah berat
|
Putusan Sintetis
(a priori)
|
Predikat bukan analisis
subjek,
namun pengindraan tak perlu
|
Semua peristiwa memiliki sebab
|
Kemudian dialektika filsafat yang dikembangkan oleh Kant, noumena sebagai
substansi alam semesta tidak diberikan tempat pada wilayah epistemologinya.
Karena noumena adalah objek transendental yang tidak bisa djangkau oleh
kategori. Noumena dalam arti positif adalah ada, menurutnya pengetahuan manusia
hanya berkenaan dengan dunia fenomenal. Kant sendiri menolak anti positif dari
noumena disebabkan ia sebagai sejenis intuisi yang menurutnya tidak dimiliki
oleh manusia[34].Maka
baginya
pernyataan-pernyataan metafisis tidak memiliki nilai epistemologis (metaphysical
assertions are without epistemological value).[35] Ketika Kant di satu sisi ingin menyelesaikan masalah
dualisme Descartes, akan tetapi pada sisi yang sama tetap terjebak pada
dualisme yang lain.
Setelah itu, dengan munculnya filsafat dialektika Hegel (1770-1831) yang terpengaruh oleh Kant, pengetahuan adalah on going process, dimana apa yang diketahui dan aku yang mengetahui terus berkembang: tahap yang sudah tercapai “disangkal” atau dinegasi” oleh tahap baru. Bukan dalam arti bahwa tahap lama itu tak berlaku lagi, tetapi tahap lama itu, dalam cahaya pengetahuan kemudian, kelihatan terbatas. Jadi tahap lama itu tidak benar karena terbatas, dan dengan demikian jangan dianggap kebenaran. Tetapi yang benar dalam penyangkalan tetap dipertahankan.[36]
Setelah itu, dengan munculnya filsafat dialektika Hegel (1770-1831) yang terpengaruh oleh Kant, pengetahuan adalah on going process, dimana apa yang diketahui dan aku yang mengetahui terus berkembang: tahap yang sudah tercapai “disangkal” atau dinegasi” oleh tahap baru. Bukan dalam arti bahwa tahap lama itu tak berlaku lagi, tetapi tahap lama itu, dalam cahaya pengetahuan kemudian, kelihatan terbatas. Jadi tahap lama itu tidak benar karena terbatas, dan dengan demikian jangan dianggap kebenaran. Tetapi yang benar dalam penyangkalan tetap dipertahankan.[36]
Ajaran yang menekankan keunggulan faktor-faktor adalah
material atas yang spiritual dalam metafisika, teori nilai, fisiologi,
epistemologi atau penjelasan historis. Filsafat
materialisme mempunyai banyak macam aliran[37]. Ludwig Feurbach (1804-1872), yang
juga murid kepada
Hegel dan seorang teolog, merupakan salah seorang pelopor faham ateisme di abad
modern. Feurbach, sebagai seorang
teolog, menegaskan prinsip filsafat yang paling tinggi adalah manusia.
Sekalipun agama atau teologi menyangkal, namun pada hakikatnya, agamalah yang
menyembah manusia (religion that worships man). Jadi, agama akan
menafikan Tuhan yang bukan manusia. Makna sebenarnya dari teologi adalah
antropologi (The true sense of Theology is Anthropology). Agama adalah
mimpi akal manusia (Religion is the dream of human mind).[38]
Terpengaruh dengan karya Feurbach, Karl Marx (m. 1883) berpendapat agama adalah keluhan makhluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah suatu roh zaman yang tanpa roh. Agama adalah candu rakyat. Dalam pandangan Marx, agama adalah faktor sekunder, sedangkan faktor primernya adalah ekonomi.[39]
Terpengaruh dengan karya Feurbach, Karl Marx (m. 1883) berpendapat agama adalah keluhan makhluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah suatu roh zaman yang tanpa roh. Agama adalah candu rakyat. Dalam pandangan Marx, agama adalah faktor sekunder, sedangkan faktor primernya adalah ekonomi.[39]
Selanjutnya Positivisme
adalah aliran filsafat yang berasal dari kata "positive".
Dasar positivisme adalah apa yang diketahui, yang faktual,
yang positif. Apa yang diketahui secara positif adalah segala yang nampak. Oleh
karena itu, dia menolak segala uraian atau persoalan yang ada di luar fakta[40].
Karena itu, menurutnya, manusia hanya dapat menyatakan fakta-fakta, dan
menyelidiki hubungan yang satu dengan yang lainnya. Maka tidak ada gunanya
menanyakan hakekat sebab-sebab. Dalam persamaan itu, ada hubungan yang tetap
lagi tampak, yang disebut dengan "pengertian". Sedangkan dalam
urutan, terdapat pula hubungan yang tetap lagi tampak, yang disebut dengan
"hukum-hukum"[41].
Disini jelas,
bahwa Comte dengan positivismenya mengkritik metodologi yang selama ini
berkembang subur pada abad pertengahan[42],
yaitu metafisika. Kritik seperti ini pernah dilakukan oleh Kant[43]
untuk membuktikan bahwa
pernyataan-pernyatan metafisis tidak dapat dibuktikan secara inderawi. Sebab
kritik metodologi yang lontarkan oleh positivisme maka ilmu pengetahuan
benar-benar telah berpisah dari metafisika dan filsafat.[44]
Tidak hanya Comte, para pengikut Comte sendiri, telah berusaha untuk menjauhkan
kecendrungan metafisika dan logika formalis dari filsafat dan ilmu-ilmunya.
Sebagai gantinya, mereka menggunakan kecendrungan ilmiah emperis dan
meninggalkan khayalan dan argumentasi rasional sebagai metodologi. Mereka
menggantikan keduanya dengan metode eksperimen dan tidak lagi
mengkaji tentang wujud dan hakikatnya, karena yang menjadi fokus
kajian mereka adalah fenomena alam luar saja. Usaha mereka jelas dapat dilihat,
seperti karya Durkheim tentang ilmu sosiologi dan Levi Brill tentang ilmu
fisika. [45]
Kembali kepada
fakta, Menurut Mach, fakta ialah objek yang dialami secara inderawi.
Macam-macam fakta yang diselidiki secara metodologis menunjukan macam-macam
ilmu pengetahuan. Jika fakta itu "masyarakat" maka ilmu adalah
sosiologi. Jika fakta itu "gejala kehidupan materi" ilmunya biologi,
jika fakta itu "benda" maka ilmunya fisika.[46] Menurut Comte, fakta-fakta itu ada dua. Pertama,
fakta-fakta yang terdapat di dalam segala yang anorgonis.
Kedua, segala fakta yang terdapat di dalam segala yang orgonis. Segala fakta yang orgonis akan bisa
dipelajari, jika segala fakta yang anorgonis telah dikenal. Sebab dalam mahluk
hidup terdapat segala proses mekanis dan kimiawi dari alam yang anorgonis.
Terdapat dua bagian di dalam ajaran tentang segala sesuatu yang anorgonis. Pertama,
astronomi, yang mempelajari segala gejala umum dari jagat raya. Kedua,
fisika serta kimia, yang mempelajari gejala-gejala anorgonis yang ada di bumi.
Dalam hal ini, pengetahuan fisika harus didahulukan dari pengetahuan kimia,
karena proses-proses kimiawi lebih rumit dibanding dengan proses alamiah dan
tergantung dari proses alamiah.[47]
Begitu pula, terdapat dua bagian di dalam ajaran tentang segala yang organis.
Pertama, biologi, yang menyelidiki proses-proses yang berlangsung pada
individu-individu dan proses-proses yang berlangsung dalam jenisnya, yang lebih
rumit. Kedua, sosiologi, yang menyelidiki gejala-gejala dalam hidup
kemasyarakatan.
Sosiologi
inilah, yang menurut Comte sebagai puncak bangunan ilmu pengetahuan. Sosiologi akan dapat berkembang, jika
ilmu-ilmu sebelumnya (ilmu pasti sebagai dasar segala filsafat, astronomi, fisika,
kimia, dan biologi) telah mencapai kedewasaannya[48].
Tapi walaupun menganggap sosiologi sebagai puncak, Menurut positivisme, ilmu
pasti merupakan ilmu yang paling fundamental dan menjadi pembantu bagi semua
ilmu yang lain.[49]
Karena dalam pandangan Comte, ilmu pasti adalah dasar segala filsafat, ilmu
pasti memiliki dalil-dalil yang paling bersifat umum, yang paling sederhana,
dan paling abstrak. Dalam hal ini Comte setuju dengan Descartes dan Newton[50]
Positivisme
adalah aliran yang mempunyai keyakinan dasar dari paham ontology realisme
yang menyatakan bahwa realitas ada (eksis) dalam kenyataan berjalan sesuai
dengan hukum alam. Menurut positivisme, objek ilmu pengetahuan harus mempunyai
beberapa syarat, yaitu dapat diamati/teramati, dapat diulang/terulang, dapat
diukur/terukur, dapat diuji/teruji, dan diramalkan/teramalkan.[51]
Untuk
menggunakan ilmu-ilmu yang telah disebutkan di atas untuk meneliti fakta-fakta
positivis maka positivisme menggunakan metodologi yang disebut dengan
metodologi ilmiah. Dalam metodologi ini, Comte membuat distingsi atau antinomy
untuk memahami objek positif, yaitu antara 'yang nyata dan yang khayal', 'yang
pasti dan yang meragukan', 'yang tepat dan yang kabur', 'yang berguna dan yang
sia-sia', serta 'yang mengklaim kesahihan yang relative dan yang mengklaim
kesahihan yang mutlak.'[52]
Distingsi atau
antinomy, yang disebut Comte di atas kemudian diterjemahkan ke dalam
norma-norma sebagai berikut:
1. Semua
pengetahuan harus terbukti lewat rasa kepastian (sense of certainty)
pengamatan sistematis yang terjamin secara intersubjektif (le reel).
2. Kepastian
metode sama pentingnya dengan rasa kepastian. Kesahihan pengetahuan ilmiah
dijamin oleh kesatuan metode (le certitude)
3. Ketepatan
pengetahuan hanya dijamin oleh bangunan teori-teori yang secara formal kokoh yang mengikuti deduksi hipotesis
yang menyerupai hukum
(le précis)
4. Pengetahuan
ilmiah harus dapat digunakan secara teknis untuk mengontrol alam maupun
masyarakat. Kekuatan kontrol atas alam dan masyarakat dapat dilipatgandakan
hanya dengan mengakui asas-asas rasional, bukan melalui perluasaan buta dari
riset emperis, melainkan melalui perkembangan dan penyatuan teori-teori.
5. Pengetahuan
kita pada prinsipnya tak pernah selesai dan relative,sesuai dengan sifat
relatif dan semangat positif.[53]
Dengan pandangan
dasar seperti itu, menurut Comte metode penelitian yang harus digunakan dalam
proses keilmuwan ialah observasi, eksperimentasi, kemudian komparasi, yang
digunakan terutama untuk melihat hal-hal yang lebih komplek, seperti biologi
dan sosiologi[54].
Berkaitan dengan
metodologi dan objek penelitian, ciri positivisme dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Objektif
(bebas nilai): dikotomi yang jelas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek
peneliti mengambil jarak dengan semesta dengan bersikap imparsial netral.
Dengan fakta-fakta yang teramati dan terukur oleh peneliti maka pengetahuan
dapat disusun secara teratur dan menjadi cermin atas realitas (korespondensi).
2. Fenomenalis:
pengetahuan yang absah
hanya terfokus pada fenomena semesta (anti metafisika)
3. Nominalisme:
positivisme terfokus pada hal yang individual particular, karena itulah
kenyataan satu-satunya. Semua bentuk universalisme adalah semata pemahaman,
bukan kenyataan itu sendiri.
4. Reduksionalisme:
alam semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat dipersepsi.
5. Naturalisme:
paham yang menjelaskan keteraturan dan peristiwa-peristiwa alam dan meniadakan
kekuatan adikodrati.
6. Mekanisme:
paham yang mengatakan bahwa segala gejala alam dapat dijelaskan secara
mekanikal-determinisme, seperti layaknya mesin.
Positivisme ini
disebut dengan positivisme sosial, yang meyakini kemajuan sosial hanya
didapatkan dengan pencapaian ilmu-ilmu positif.
Jadi menurut, positivisme sosial yang digagas
oleh August
Comte, semua pengetahuan harus didasarkan pada alam dan harus emperis, baik itu
alam, manusia maupun masyarakat. Gagasan yang didasarkan pada persepsi atau
pengamatan harus dinilai tinggi. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang
emperis, yang ilmiah, bukan pengetahuan yang berdasarkan agama maupun filsafat.[55]
C.
Kritik Dualisme Epistemologi Barat Modern
Ide tentang dualisme ala cartesian ini dinilai merendahkan “ilmu agama” dan
benar-benar asing dalam tradisi intelektual Islam. Islam tidak sepakat dengan
proses penalaran untuk memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum atau antara
dunia dan akhirat. Sebaliknya, Islam menganggap antara dunia dan akhirat
sebagai satu entitas, karena al-dunya mazra’at al-akhirah, pemisahan
diantara keduanya tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan prinsip
tauhid. Begitupun juga, Islam memandang illmu sebagai kesatuan tunggal sebab
semua ilmu pada dasarnya bersumber dari yang satu.
Dari sini kita melihat bahwa sumber dualisme epistemologi Barat modern yang
menghasilkan nilai-nilai yang juga diwarnai oleh prinsip dualisme dalam
memandang realitas, pemisahan jiwa dan raga adalah contoh yang paling kongkrit.
Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, berkaitan
erat dengan dualisme adalah cara memandang segala sesuatu secara dikotomis
yaitu suatu cara pandang terhadap realitas secara mendua. Artinya
perkembangannya hanya bertumpu pada rasio dan spekulasi filosofis dan bukan
pada suatu agama pendekatan intelektual dan moralnya bersifat dikotomis,
pemikirannya selalu berubah, makna realitas dan kebenarannya terbatas pada
realitas sosial, kultural, empiris dan melulu bersifat rasional[56].
Lebih lanjut lagi, implikasi dari dualisme epistemologi modern ini menurut
penilaian Prof. Naquib Al-Attas, intuisi yang hanya dibatasi pada pengalaman
inderawi dan penolakan akan fakultas intuitif seperti hati yang dilakukan oleh
kaum rasioanalis, emperis dan psikolog secara umum -- hanyalah spekulatif
semata. Jelasnya beliau mengatakan:
“mengenai intuisi, kaum rasioanalis, sekularis, emperis dan psikolog pada umumnya telah menyempitkannya hanya pada pengamatan inderawi dan penyimpulan logis yang sangat lama telah direnungkan oleh pikiran, yang maknanya tiba-tiba saja terpahamkan. Atau dengan kata lain, intusi dibangun di atas bangunan emosional dan indera laten, yang terbebaskan seketika dalam proses pemahaman yang tiba-tiba. Tetapi sebenarnya, ini hanyalah dugaaan semata, sebab tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa kilasan pemahaman yang tiba-tiba itu datang dari pengalaman inderawi. Selain itu, penolakan mereka akan fakultas intuitif seperti hati yang tersirat dari pembicaraan mereka tentang intuisi, juga bersifat spekulatif belaka.”[57]
Meskipun terdapat beberapa kesamaan antara Islam dengan filsafat dan sains
modern menyangkut sumber dan metode ilmu, kesatuan cara mengetahui secara nalar
dan empiris, kombinasi realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai fondasi
kognisi bagi filsafat sains; proses dan filsafat. Akan tetapi Prof.
Naquib Al-Attas menegaskan terdapat juga perbedaan mendasar dalam
pandangan hidup (divergent worlviews) mengenai realitas akhir.
Menurutnya dalam Islam, wahyu merupakan sumber ilmu tentang realitas dan
kebenaran akhir berkenaan dengan makhluk ciptaan dan Pencipta. Sebagai sumber
dan metode ilmu pengetahuan menurut Al-Attas adalah terdiri dari:
a)
Panca-indera yang meliputi 5 indera eksternal seperti sentuh, bau, rasa,
penglihatan, pendengaran, serta 5 indera internal seperti representasi,
estimasi, retensi (retention), mengumpulkan data kembali (recollection)
dan khayalan.
b)
Khabar yang benar berdasarkan otoritas (naql); otoritas absolut
yaitu otoritas ketuhanan (al-Qur’an) dan otoritas kenabian (rasul) dan otoritas
relatif, yaitu konsensus para ulama (tawatur) dan khabar dari
orang-orang yang terpercaya secara umum.
c)
Akal yang sehat dan intuisi[58].
Wahyu merupakan dasar kepada metafisis untuk mengupas filsafat sains
sebagai sebuah sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran sudut pandang
rasionalisme dan empirisisme[59].
Tanpa wahyu, ilmu pengetahuan ini hanya akan terkait dengan fenomena.
Akibatnya, kesimpulan pada fenomena akan selalu berubah-ubah sesuai dengan
perkembangan zaman. Serta tanpa didasari oleh wahyu, realitas yang dipahami
hanya terbatas kepada alam nyata sebagai sesuatu dianggap sebagai satu-satunya
realitas.
Al-Farabi dan Ibnu Rusyd mempunyai cara dan argumentasi tersendiri terkait
dengan masalah dualisme antara wahyu dan rasio,
Al-Farabi menyelesaikannya melalui konsepnya tentang intelek aktif[60]. Sedangkan
Ibnu Rusyd mempertemukan keduanya lewat konsepnya bahwa wahyu mengajak dan
mengajarkan untuk berfilsafat (berfikir).
Kemudian cara pandang dualisme epistemologi modern ini, dikritik oleh
Seyyed Husein Nasr. Menurutnya, sejak periode Nicolas of Cusa, Descartes hingga
Hegel, merupakan suatu gerakan pemikiran yang menuju “anti-metafisika” dan
alienasi yang semakin lebar dari segala sesuatu yang merupakan landasan bagi
“filsafat” yang sejati, yaitu dua sumber kebenaran yang menurut filsafat
tradisional atau yang kekal tidak lain daripada wahyu ilahi dan intuisi
intelektual atau pemahaman spiritual[61].
Lebih lanjut, sumber ilmu pengetahuan merupakan pengenalan dan pengakuan
kebenaran meniscayakan aktualisasinya dalam diri seseorang. Pengenalan akan
pengetahuan dalam hal ini hadir hanya karena jelas dalam dirinnya sebagaimana
ditangkap oleh fakultas intuitif yang kita sebut hati, yakni dengan petunjuk (huda)
dan bukan hanya proposisi rasional dan demonstrasi logis. Bagi al-Attas
sendiri, kebenaran itu sekaligus meliputi tentang semua hal yakni objektif dan
subjektif dan yang objektif subjektif seperti agama dan kepercayaan lemah
adalah aspek yang tak terpisah dari realitas.[62]
Dalam tinjauan Prof. Naquib Al-Attas, ilmu pengetahuan Barat-modern yang
diproyeksikan melalui pandangan-hidupnya. Dibangun diatas visi intelektual dan
psikologis budaya Barat. Menurutnya, terdapat 5 faktor yang menjiwai budaya dan
peradaban Barat[63]:
(1) akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia; berdasarkan
filsafat dan bukan agama. (2) bersikap
dualistik terhadap realitas dan kebenaran; (3) menegaskan aspek eksistensi yang
memproyeksikan pandangan hidup sekuler[64];
(4) membela doktrin humanisme; Artinya, hanya manusia sebagai tokoh dalam drama kehidupan di dunia. Pahlawannya
adalah tokoh-tokoh yang bernasib tragis. (5) menjadikan drama dan tragedi sebagai
unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi manusia[65]. Prinsip tragedi
ini disebabkan oleh kekosongan kepercayaan (iman) dan karenanya mereka
memandang kehidupan secara dikotomis. Konsep ini berujung pada keresahan jiwa,
selalu mencari sesuatu yang tiada akhir, mencari suatu kebenaran tanpa asas
kebenaran atau prinsip kebenaran mutlak. Dan
untuk lebih jelas lagi al-Attas bahkan membedakan secara diametris worrldview Islam dan Barat
sebagai berikut[66]:
NO
|
WORLDVIEW ISLAM
|
WORLDVIEW BARAT
|
1
|
Prinsip Tauhidi
|
Prinsip Dichotomic
|
2
|
Asas: Wahyu, Hadits, akal,
pengalaman, dan Intuisi
|
Asas: Rasio, spekulatif filosofis
|
3
|
Sifat: Otentitas dan
finalitas
|
Sifat: Rasionalitas, terbuka dan selalu berubah
|
4
|
Makna realitas: Berdasarkan
kajian
metafisis
|
Makna realitas: Pandangan sosial, kultural, empiris
|
5
|
Objek kajian: Visible & invisible
|
Objek kajian: Tata nilai masyarakat
|
Kesimpulan
Dapat penulis simpulkan dari tulisan ini bahwa, implikasi dualisme ala
cartesian bahwa gambaran dunia sebagai hasil
inspirasi Descrates di atas. Serta tatanan sosial yang dihasilkannya, ternyata
telah dianggap melahirkan berbagai konsekuensi buruk bagi kehidupan manusia dan
alam disekitarnya, alam benda yang dipisahkan dengan alam ruh dengan
sedemikian cara sehingga hilangnya tabiat alam semesta. Tidak hanya itu diantaranya: a) Pandangan dualistiknya yang membagi
seluruh kenyataan menjadi subjek dan objek, yang mengakibatkan objektivisasi
alam secara berlebihan dan pengurasan alam sewenang-wenang, sehingga menimbulkan
krisis ekologi. b) Menjadikan ilmu positif-empiris sebagai kebenaran tertinggi,
sehingga menghilangkan kewibawaan nilai moral dan religius. c) Pandangan yang
bersifat objektivistik dan positivistik telah memunculkan kecenderungan untuk
menjadikan manusia sebagai wahana objek juga, dan masyarakat direkayasa bagai
mesin. d) Desakralisasi agama, yaitu
peminggiran agama dari fungsinya yang sentral dalam kehidupan publik .
DAFTAR PUSTAKA
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Prolegomena to The Metaphisic
of Islam: an Exposition of the Fundamental Elements of The Worldview
of The Islam , (Kuala
Lumpur: ISTAC,
2006).
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib,
mengenai “Peradaban Barat” dalam karyanya
Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, edisi kedua, 1993).
Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains,
Penerjemah:Saiful
Muzani. (Bandung:
Mizan, cet I, Syawwal/Maret. 1415/ 1995).
Al-Attas, Risalah untuk Kaum
Muslimin,
(Kuala
Lumpur: ISTAC,
2001).
Anwar, Saiful, Filsafat Ilmu
Al-Ghazali, (Bandung: Pustaka Setia. 2007).
Armas, Adnin, Krisis
Epistemologi dan Islamisasi Ilmu, (Ponorogo, CIOS: 2007).
Bagus,
Lorens, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1976).
Bertens, K., Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999).
Donald, John M. Borchert, Encyclopedia
of Philosophy,
Macmillan Reference USA, (New York: Vol. 4, 2006).
Fahmy, Hamid Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam
“Gerakan bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis”, (Ponorogo: CIOS, Cet.
II, 2009).
Fahmy, Hamid Zarkasyi, Worldview sebagai Asas
Epistemologi Islam, dalam Jurnal ISLAMIA NO.5. 2005.
Guyer,
Paul, dalam "Wolff,
Christian". In The Cambridge Dictionary of Philosophy, (London:
Cambridge University Press).
Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, Dari Machiavelli
sampai Nietzsche, (Jakarta: Gema Pustaka Utama, 2004).
Hardiman, F. Budi, Kritik ideology, (Yogyakarta:
kanisuis, 2009).
Ismail, Mohd b. Zaidi, Kosmos dalam Pandangan Hidup
Islam dan Orientasi Sains Masyakat Muslim, dalam (ISLAMIA, Vol. 3 No. 4,
2008).
Losee, John, A Historical
Introduction to The Philosophy of Science, (Oxford University Press, New
York: 2001).
Mudhofir, Ali, Kamus Istilah Filsafat, (Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta, 1992).
Magee, Bryan, The Story of
Philosophy, (Yogyakarta: Kanisius, 2008).
Masruri, M. Hadi dan Rossidy,
Imron, Filsafat Sains dalam Al-Qur’an, (Malang: UIN- Malang Press:
2007).
Muslih,
Muhammad, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar, 2007).
Nasr, Seyyed Husein, Islam
dan Nestapa Manusia Modern, diterjemahkan dari “ Islam and the Plight of
Modern Man”, (Bandung: Pustaka-Perpustakaan Salman ITB, 1983).
Praja, Juhaya S, Aliran-aliran filsafat dan Etika,
(Jakarta: Prenada Media: 2005).
Pojman, Louis P., The Theory
of Knowledge, (USA: Thomson Learning Academic Resource Center, 2003).
Runs,
Dagobert D., Dictionary of Philosophy, (New Jersey:
Adam’s & Co, 1971).
Russel,
Bettrand, History of Western Philosophy, vol. 1 (London: George Allen
and Unwin Ltd, 1961).
Siswomihardjo, Koento Wibisono,
Filsafat ilmu, Sejarah dan Perkembangannya, dalam M. Thoyibi
Setia, Adi, dalam Philosophy
of Science of Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam & Science, (2003).
Zubaidi, Filsafat Barat, Dari Logika Baru Rene
Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Khun, (Yogyakarta: Ar-ruzz
Media, Cet. II, 2010).
[1]
Peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) angkatan V,
kerjasama Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Pondok Modern Darussalam
Gontor Ponorogo 2011-2012
[2]
Teori
pengetahuan, begitulah sederhananya epistemologi diterjemahkan ke bahasa
Indonesia, sedangkan dalam tradisi filsafat Islam disebut dengan nazhariah
al-ma’rifah. Berasal dari bahasa Yunani, episteme dan logos, yang
keduanya berarti pengetahuan atau ilmu. Ini berarti epistemologi adalah
pengetahuan tentang pengetahuan atau ilmu tentang ilmu. Menurut
kamus-kamus filsafat, umumnya epistemologi dipandang sebagi teori mengenai
pengetahuan (the theory of knowledge).
Epistemologi merupakan bagian dari kajian filsafat yang spesialisasi membidangi kajian mengenai segala hal yang
terkait dengan ilmu pengetahuan, seperti tabiat, landasan, sifat, jenisnya,
asal mula, objek, struktur, cara, proses, ukuran atau validitas ilmu. (Dagobert D. Runs,
Dictionary of Philosophy (New Jersey: Adam’s & Co, 1971), hal.
94.
[3] John Donald M. Borchert, Encyclopedia of Philosophy, Macmillan
Reference USA, (New York: 2006, Vol. 4), hal. 281
[4]
Aslinya: Epistemologi attempt to explain the nature and
scope of knowledge and ration belief, Ibid, 270
[5]
John Losee, A Historical Introduction to The Philosophy of Science, (Oxford
University Press, New York: 2001), hal. 63-68.
[6]
Pengertian dualisme merupakan pandangan filosofis yang
menegaskan eksistensi dari dua bidang (dunia) yang terpisah, tidak dapat
direduksi, unik. Contoh: adikodrati/kodrati. Allah/Alam semesta. Roh/Materi.
Jiiwa/Badan. Dunia yang kelihatan/Dunia yang tidak kelihhatan. Dunia inderawi/Dunia
intelektual. Substansi yang berpikir/Substansi Material. Realitas
aktual/Realitas kemungkinan. Dunia noumenal/Dunia fenomenal. Kekuatan
kebaikan/Kekuatan kejahatan. Alam semesta dapat dijelaskan dengan kedua bidang
(dunia) itu. (Lihat
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1976), hal. 174.
[7] Hamid Fahmy
Zarkasyi, dalam pengantar : Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu,
(Ponorogo, CIOS: 2007), hal. VIII.
[8] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to The
Metaphisic of Islam: an Exposition
of the Fundamental Elements of The
Worldview of The Islam , (Kuala Lumpur: ISTAC,
2006), hal. III.
[9]
Juhaya S. Praja, Aliran-aliran
filsafat dan Etika, (Jakarta: Prenada Media: 2005),hal. 87.
[11]
Dagobert D. Runs, Dictionary of Philosophy, (New Jersey: Adam’s & Co, 1971), hal.
94.
[12]
Aslinya: Dualism the division of something conceptually into two opposed of
contrasted aspects, or the state of being so divided philosophy a theory or
system of thought that regards a domain of reality in terms of two independent
principles.
[13]
John Donald M. Borchert, Encyclopedia of Philosophy,
hal. 113.
[14]
Zoroaster adalah doktrin dalam
sejarah Persia kuno, Lihat Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1976),
hal. 174
[15]
Cristian Wolf adalah seorang fisuf
jerman yang berpengaruh besar dalam gerakan rasionalisme sekuler di Jerman pada
awal abad ke 18. Meskipun Wollf berasal dari keluarga lutheran, namun
pendidikannya di sekolah katolik membuatnya mengenal pemikiran Aquinas dan
suarez. Studinya di Leipzig membuat Wolff
berkenalan dengan pemikiran Leibniz dan sempat
berkirim surat dengan filsuf tersebut. Ia meninggal pada tahun 1754. Paul Guyer. dalam "Wolff, Christian". In The
Cambridge Dictionary of Philosophy, (London:
Cambridge University Press), hal. 980-981.
[16]
Berasal dari bahasa Latin, yaitu
substansi pemikiran; ada yang berpikir: Substansi pemikiran dilawankan dengan res
extensa yaitu substansi keluasan atau substansi material. Substansi
pemikiran mencakup Jiwa individual atau diri yang berfikir, lihat Ali Mudhofir,
Kamus Istilah Filsafat, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1992), hal.
136.
[17]
Yaitu substansi keluasan; benda
material, substansi material ini merupakan dasar bagi semua perubahan mekanis
atau material dalam alam dan tidak memiliki sifat kejiwaan atau kehidupan,
lihat, ibid.
[19]
Istilah ini diperkenalkan oleh Kant
sebagai proposisi atau keterangan yang
diketahui kebenarannya sebelum dicoba dan tidak hanya bersandar kepada
pengalaman untuk membuktikan kebenarannya. Proposisi ini mesti benar dan
memberi informasi tentang alam. Misalnya: setiap peristiwa ada sebanya, lihat:
Ali Mudhofir, Kamus Istilah Filsafat, hal. 14.
[20]
Aslinya:
[21]
Bettrand Russel, History of Western Philosophy, vol. 1 (London: George
Allen and Unwin Ltd, 1961), hal. 542.
[22]
Zubaedi, Filsafat Barat “Dari logika Baru Rene Descartes hingga
Revolusi Sains ala Thomas Kuhn”. (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media: 2011), hal.17.
[23]
Lihat Bryan Magee, The Story of
Philosophy, (Yogyakarta: Kanisius, Cet.
V, 2012), hal. 87.
[24]
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal. 41
[25]
Al-Attas. Islam dan Filsafat Sains. Penerjemah:Saiful Muzani.
Bandung: Mizan, cet I, Syawwal/Maret. 1415 H/1995, hlm.30-31
[26]Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat
“ Kaitannya dengan Kondisi Sosio-politik Zaman Kuno hingga Sekarang”,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. II, 2004), hal. 717.
[27]
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern,
hal. 68.
[28]
Ibid, hal. 68.
[29]
Ali Mudhofir, Kamus Filsafat
Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 322.
[30]
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern,
hal. 78.
[31]
Bryan Magee, The Story of
Philosophy, hal. 115.
[32]
Lihat Filsafat Modern,
hal.87.
[34]Justus Harinack, Kant’s Theory of
Knowledge, penerj. M. Holmes Hartshome (New York: An Original Harbinger Book,
Inc, 1967),hal. 32.
[35] Justus Harnack, Kant’s
Theory of Knowledge, pen. M. Holmes Hartshorne (London: Macmillan, 1968),
142-145.
[36] Dikutip dari Franz
Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan
Revisionisme (Jakarta;
Gramedia Pustaka Utama, 2001), 56, diringkas Pemikiran Karl Marx.
[38] Ludwig Furbach, The
Essence of Christianity, penerjemah George Eliot (New York: Prometheus
Books, 1989), xiii-xix.
[39] Dikutip dari Franz
Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx, 71-76.
[42] Pada abad
ini, masyarakat memiliki cara berpikir yang secara kualitatif berbeda dengan
masyarakat modern. Mereka meyakini adanya tatanan dunia objektif yang berdiri
lepas dari subjek yang berpikir. Misalnya, mereka meyakini adanya kebenaran
pada dirinya, pengetahuan pada dirinya, ada kenyataan yang tertinggi yang lepas
dari dunia materi dan lainnya. Keyakinan seperti ini dalam istilah filsafat
terangkum dalam kata metafisika. Sedangkan pada abad modern, cara berpikir
masyarakat didorong oleh faktor-faktor
emperik atau hal yang fisik. (lihat Budi Hardiman. Melampaui Positivisme dan
Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius,
2003), hal. 51).
[43] Pada
zaman Kant, ilmu-ilmu alam dan penerapannya sudah memasuki zaman keberhasilan,
dan puncak pada positivisme Comte. Dalam filsafat Kant, ilmu-ilmu alam sudah
mulai menjadi asumsi normative implisit dalam epistemology. Meski demikian,
Kant masih mengakui keberadaan bentuk-bentuk pengetahuan lain, seperti etika
dan estetika. Kant juga masih merefleksikan subjek dalam peneltian yang
dilakukan. Pada positivisme inilah
puncaknya, yang mana ilmu-ilmu alam menjadi satu-satunya norma bagi kegiatan
pengetahuan, dan subjek yang
berpikir harus ditiadakan dengan prinsip
keras "pengetahuan kita diperoleh dengan menyalin fakta objektif dan tidak
melampauinya" (lihat ibid, hal.
52-53).
[45]
Ismail Asy-Syarafa. Al-Mawsu'ah al-Falsafiyyah “terjm: Ensiklopedi
Filsafat oleh: Syofiyyullah Mukhlas”, (Jakarta: Khalifa, cet I, 2002), hal.
244-245.
[46] Budi Hardiman. Kritik ideology, hal. 141 atau Budi Hardiman, Melamapui
positivisme dan Modernitas, hal. 55
[48]
Ibid.
[52] Ibid, hal 109-110. Atau lihat Budi Hardiman, Kritik
ideology, (Yogyakarta:
kanisuis, 2009), hal. 140.
[53] Muslih MA. Filsafat ilmu, hal 110-111 atau
Budi Hardiman. Melampaui Positivisme dan Modernitas, hal. 55-56
[56]Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi
Pemikiran Islam “Gerakan bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis”,
(Ponorogo: CIOS, Cet. II, 2009), hal. 11.
[57]
Al-Attas. Islam dan Filsafat Sains. Penerjemah:Saiful Muzani. Bandung:
Mizan, cet I, Syawwal/Maret. 1415 H/1995, hlm. 29
[58]Lihat skema struktur epistemologi Naquib
Al-Attas dalam Adi Setia, philosophy of Science of Syed Muhammad Naquib
Al-Attas, Islam & Science, (2003) No. 2, hal. 189.
[59]
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam
and the Philosophy of Science (Kuala Lumpur: ISTAC, 1989), hal. 9.
[60]
Louis Gardet, Al-Taufiq Bain al-
Din wa al-Falasifah ‘ind al-Farabi, 134.
[61]
Seyyed Husein Nasr, Islam dan
Nestapa Manusia Modern, diterjemahkan dari “ Islam and the Plight of Modern
Man”, (Bandung: Pustaka-Perpustakaan Salman ITB, 1983), hal.52.
[62]Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to The
Metaphisic of Islam: an Exposition
of the Fundamental Elements of The
Worldview of The Islam , (Kuala Lumpur: ISTAC,
2006), hal. 112.
[63]
Lihat definisi Syed Muhammad Naquib
Al-Attas mengenai “Peradaban Barat” dalam karyanya Islam and Secularism (Kuala Lumpur:
ISTAC, edisi kedua, 1993), hal. 133-137.
[64]
Lihat Kritikannya didalam, Islam
and Secularism, hal. 38-43.
[65]Lihat Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to The Metaphisic of Islam: an Exposition of the Fundamental Elements of The Worldview
of The Islam , (Kuala
Lumpur: ISTAC, 2006), hal.88, 99-108.
[66]
Fahmy, Hamid Zarkasyi, Worldview sebagai
Asas Epistemologi Islam, dalam Jurnal ISLAMIA NO.5. 2005. hal. 13.
1 Komentar untuk "KRITIK TERHADAP DUALISME EPISTEMOLOGI BARAT MODERN"
Subhanallah!!!