Tasawuf sebagai terapi jiwa



Hubungan tasawuf dengan jiwa
            Dalam percakapan sehari-hari, orang banyak mengaitkan tasawuf dengan unsur kejiwaan dalam diri manusia. Hal ini cukup beralasan, mengingat dalam substansi pembahasannya, tasawuf selalu membicarakan persoalan-persoalan yang berkisar pada jiwa manusia. Hanya saja, dalam jiwa yang dimaksud adalah jiwa manusia muslim, yang tentunya tidak lepas dari sentuhan-sentuhan keislaman. Dari sinilah, tasawuf kelihatan identik dengan unsur kejiwaan manusia muslim.
            Mengingat adanya hubungan dan relevansi yang sangat erat antara spiritualitas (tasawuf) dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak dapat lepas dari kajian tentang kejiwaan manusia itu sendiri.
            Pembahasan tasawuf membicarakan tentang hubungan jiwa dan badan. Yang dikehendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam tasawuf tersebut adalah terciptanya keserasian antara keduanya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat sejauh mana hubungan prilaku yang dipraktekkan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat terjadi. Dari sini, baru muncul kategori-kategori perbuatan manusia, apakah dikategorikan sebagai perbuatan jelek atau perbuatan baik. Jika perbuatan yang ditampilkan seseorang baik, ia disebut orang yang berakhlak baik (berhati baik). Sebaliknya, jika perbuatan yang ditampilkan jelek, ia disebut sebagai orang yang berakhlak jelek.
            Dalam pandangan kaum sufi, akhlak dan sifat seseorang bergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya.
ألا إنّ في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كلّه، و إذا فسدت فسد الجسد كلّه ألا و هي القلب (متفق عليه)
"ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh tubuhnya dan apabila ia buruk maka buruklah seluruh tubuhnya. ingatlah ia adalah hati”  
            Jika yang berkuasa dalam tubuhnya adalah nafsu-nafsu hewani atau nabati, yang akan tampil dalam perilakunya adalah perilaku hewani atau nabati pula. Sebaliknya, jika yang berkuasa adalah nafsu insani, yang akan tampil dalam perilakunya adalah perilaku insani pula.
            Kalau para sufi menekankan unsur kejiwaan dalam konsepsi tentang manusia, dapat pula berarti bahwa hakikat, zat, dan inti kehidupan manusia terletak pada unsur spiritual atau kejiwannya.[1]
            Hati adalah panglima, yang mengatur tentara tentaranya. Ia memerintah anggota tubuh lainnya untuk berbuat atau tak berbuat sesuatu. Karena itulah syetan tak pernah menyerang tentara. Untuk menguasai manusia cukuplah syetan menyerang panglimanya, yaitu hati. Syetan tak pernah menyerang tangan kita, kaki kita, mata kita, telinga kita dan semua anggota badan kita. Maka seluruh hidup kita akan tunduk kepada kemauan syetan kalau tidak dijaga. Dengan itu, Nabi mengajarkan kita sebuah doa:
"يا مقلب القلوب ثبت قلوبنا علي دينك وعلي طاعتك"
            Apabila hati sakit, maka sakitlah seluruh kehidupan kita. Cara membersihkannya adalah dengan amal sholih.
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ (سورة الهود : 114) 
             Kalau hati bersih, maka akan mendapat furqan dan hidayah dari Allah (bisa melihat realitas utuh, apa adanya), sehingga bisa membedakan mana yang haq dan mana yang bathil, Mana yang manfaat, dan mana yang mudharat.
            Dengan itu, dalam tasawuf diketahui beberapa tingkatan-tingkatan (maqamat) yang harus dijalani seorang untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.[2]


Maqamat dalam Tasawuf
            Maqam menurut Al-Suhrawardi[3] dalam kitabnya Adab al-Muridin, berarti posisi seseorang dalam peribadatan di hadapan Tuhannya. Beberapa maqam tersebut adalah terjaga dari kelalaian, tobat, kembali (inabah), penjagaan moral (wara’), pengujian jiwa (muhasabat al-nafs), ilham (iradah), penolakan (zuhd), kefaqiran (faqr), kejujuran (shidq), dan menahan diri (tashabbur), yang merupakan maqam terakhir seorang pemula. Kemudian kesabaran (shabr), kepuasan (ridha), ikhlas, keyakinan kepada Tuhan (tawakkul).
            Sedangkan menurut Muhammad Al-Kalabazy[4] dalam kitabnya al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah.
            Maka maqamat adalah beberapa posisi atau keadaan seorang sufi ketika beribadah yang  merupakan jalan yang harus ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Allah. Jumlah maqamat yang bervariasi menurut beberapa pendapat tersebut juga telah disepakati hanya ada tujuh saja, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla.
1.      Al-Taubah
            Taubah berasal dari bahasa Arab yang artinya kembali. Taubat dalam dunia sufi ini memiliki arti taubat yang sebenarnya (taubat al-Nasuha) yaitu menyesali segala perbuatan dosa yang pernah dilakukan dan berjanji serta bersungguh-sungguh untuk tidak melakukannya lagi. Para sufi adalah orang yang selalu menyesali diri ketika berbuat dosa, dan hal itu dilakukan setiap hari, karena bagi mereka dosa yang lalu belum tentu mendapat pengampunan dari Allah.
            Abu Muhammad Al-Marwazi berkata,”Ada lima hal yang membuat Adam mendapat ampunan dari Allah adalah: mengakui dosa, menyesalinya, mencela dirinya karena dosa, cepat bertobat, tidak putus asa dari rahmat Allah.


2.      Al-Wara’
            Wara’ memiliki arti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa (hal-hal yang tidak baik). Wara’ dalam pengertian sufi adalah meninggalkan sesuatu yang diragukan halal dan haramnya (syubhat) dan tidak jelas asal-usulnya.
            Para sufi sangat berhati-hati dalam mencari harta. Mereka selalu berupaya menghindari harta haram. hingga pada barang yang syubhat saja mereka tidak mau karena barang syubhat lebih dekat pada haram. mereka menyadari benar bahwa makanan, minuman, pakaian dan sebagainya yang haram akan berpengaruh pada diri mereka sendiri.
3.      Al-Zuhdu
            Zuhud adalah suatu keadaan meninggalkan keduniawian dan hal-hal yang bersifat kematerian. Orang zuhud menyimpan harta di tangannya, bukan di dalam hatinya. Jadi orang zuhud tidak akan sedih meskipun kehilangan hartanya. Zuhud merupakan suatu  ajaran agama yang sangat penting dalam rangka mengendalikan diri dari kehidupan dunia. Orang yang zuhud cenderung mengejar kehidupan akhirat yang kekal dan abadi dari pada kehidupan dunia yang fana dan sementara.
            Selanjutnya para sufi sangat senang jika ada orang yang menghalangi mereka dari keduniaan yang hanya memuaskan syahwat. Umar Ibn Abd Al-Aziz berkata,”Hendaklah kalian mematikan syahwat-syahwat yang ada dalam diri kalian. Tetapi, janganlah mematikan diri kalian di dalam syahwat. Sebab, seseorang yang menempatkan syahwat di bawah kakinya, setan akan lari dari bayangannya. Dan orang yang menempatkan syahwat di dalam hatinya, setan akan mengendalikannya.”
4.      Al-Faqr
            Pada umumnya fakir diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh, atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. mereka tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya saja.
5.      Al-Shabr
            Secara harfiah sabar berarti tabah hati. Sabar merupakan salah satu maqam utama para sufi. Bagi mereka kesabaran adalah syarat mutlak untuk mencapai tingkat spiritual yang khusus. Dikalangan para sufi sabar terbagi menjadi tiga, yaitu sabar untuk menghindari maksiat, sabar dalam ketaatan, dan sabar ketika mendapat musibah.
            Menurut Ali Ibn Abi Thalib bahwa sabar itu adalah bagian dari iman sebagaimana kepala yang kedudukannya lebih tinggi dari pada jasad. Hal itu menunjukkan bahwa sabar sangat memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.
6.      Al-Tawakkal
            Tawakkal mempunyai arti menyerahkan diri. Dalam dunia sufi tawakkal berarti menyerahkan diri pada qadha dan keputusan Allah. Jika mendapat pemberian mereka akan bersyukur dan jika tidak mendapat apa-apa mereka akan bersabar. Menyerahkan kepada Allah dengan Allah dan karena Allah.
            Para sufi dikenal sebagai orang yang sangat bertawakkal kepada Allah dalam segala hal. Bagi mereka, tawakkal adalah salah satu upaya untuk memperoleh rahmat dan ridha Allah.
7.      Al-Ridha
            Secara harfiah ridha mempunyai arti rela, suka, senang. Para sufi mengartikan ridha adalah penerimaan seseorang atas keputusan Allah. Ketika seorang sufi melatih diri untuk menerima keputusan Allah, ia akan menutup dirinya dari pilihan-pilihan lain selain pilihan Allah.
            Keridhaaan yang dipraktekkan oleh para sufi adalah buah penerimaan mereka terhadap Allah sebagai Tuhan yang menentukan segala-galanya. Ada sebuah ikrar yang populer di kalangan sufi, yaitu ”Aku ridha (menerima) Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai nabi dan rasul.
            Melalui tahapan-tahapan inilah para sufi membersihkan dan mengobati jiwa mereka agar dapat dekat dengan Sang pencipta alam Allah Swt. Wallahu a’lam bisshawab…




                [1] Prof. Dr. M. Solihin M.Ag dan Prof. D.r. Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Tasawuf (untuk mata kuliah ilmu tasawuf di seleluruh jurusan PTAIN dan PTAIS), (Bandung: CV PUSTAKA SETIA), cetakan kedua, 2011.
                [2] Dr. Amir An-Najar, Ilmu Jiwa Dalam Tasawwuf: studi komparatif dengan ilmu jiwa kontemporer, (Jaksel: Pustaka Azzam, 2000).
                [3] Syihab al-Din Abu Hafs Umar al-Suhrawardi, lahir di Suhraward pada tahun 539 H/1144 M dan wafat di baghdad[2] pada tahun 632 H/1234 M
                [4] Seorang sufi yang nama lengkapnya adalah Abu Bakar bin Abi Ishaq Muhammad bin Ibrahim bin Ya’qub al-Bukhari al-Kalabazi, (w. Bukhara, 380 H/990 M).
Share this article :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "Tasawuf sebagai terapi jiwa"

 
Copyright © 2015 Keilmuan dan Kerohanian - All Rights Reserved - DMCA
Template By Kunci Dunia Published By Kaizen Template - Support KaizenThemes